430. Simple Love

Viewed : 48 views

Berbagai skenario logika bermunculan akibat drama tragis di Taman Eden. Mulai dari yang bersikap adem ayem: ’Emangnya gue pikirin?’ Entah dikau percaya ataupun daku tidak yakin dengan narasi tersebut, sama saja, tidak ada efeknya bagi hidup keseharian.

Sikap apatis, menerima begitu saja dan anggap itu semua kehendak-NYA sebagai takdir manusia. ’Bukankah tidak ada yang kebetulan di muka bumi? Pasrah saja dengan roda kehidupan’ kilah kelompok ini. Adinda hanyalah boneka, ikuti apa maunya Sang Sutradara. Jika DIA mau yang ini, ya itu pasti terjadi. Kalau DIA berkehendak lain, itupun bak hanya semudah ganti pemain.

Hingga paham yang dianggap paling modern di era serba digital, ateisme, DIA tidak ada. Ini kesimpulan bukan mengada-ngada, namun dari uraian panjang lebar dari mereka yang ternama. Dalil terkenal untuk paham ini terdapat dalam buku laris manis di awal-awal abad ke 21, The God Delluison (karya prof biologi terkenal, Richard Dawkins) dan The Grand Design (karya Stephen Hawking, fisikawan ternama).

Dawkins punya seribu satu penjelasan saintific akan keberadaan DNA sebagai sumber informasi yang diturunkan ke genarsi berikutnya, sehingga kepercayaan adanya Sang Pencipta hanyalah sebuah ilusi. Dia dikenal sebagai tokoh gerakan New Atheism yang mengajar di Oxford University, Inggris.

Setali tiga uang dengan prof Stephen Hawking, salah satu tokoh ternama dalam sejarah yang menduduki posisi bergensi sebagai Lucasian Professor at the University of Cambridge, hingga akhir hayatnya. Posisi ini hanya ditempati oleh mereka sekaliber dengan cendikiawan fisika seperti Isaac Newton, penemu teori gravitasi, yang pernah menduduki posisi itu beberapa dekade sebelumnya.

Berdasarkan teori fisika quatum physic, terutama Heisenberg’s Uncertainty Principle, Hawking dengan jumawa menyimpulkan bahwa alam ini jadi dengan sendirinya. Tidak dibutuhkan ada pribadi yang maha kuasa di belakang misteri penciptaan.

Luar biasa! Peperangan dalam alam pikiran sungguh dahsyat. Pertempuran tak kasat mata, namun nyata. DIA sempurna terjunggkal dari alam pikiran kaum cerdik pandai. Bukan hanya di lingkungan kampus, di konteks gereja pun sebelas-dua belas.

Berbagai macam aliran teologi, ribuan denominasi dengan segala ragam ritual ibadahnya, membuat daku dan mungkin juga dikau yang dikelompokkan sebagai kaum awam, menjadi linglung. Fakta ini kemungkinan tidak dapat dihindari. Mengapa? Karena meskipun daku dan dikau membaca kitab suci yang sama, masing-masing dapat menyimpulkan hal yang berbeda.

Pertarungan adu argumentasi ini telah terjadi sejak di Taman Eden, hanya sekarang semakin edan! Sebagaimana di Eden, DIA-pun seakan-akan diam dan membiarkan Adinda tentukan pilihan, keputusan sendiri. Bukankah pertanggungawaban hanya berlaku jika Adinda memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan?

And now I’m afraid that exactly as the Snake seduced Eve with his smooth patter, you are being lured away from the simple purity of your love for Christ. (2 Korintus 11:3, MSG)

Cara si ular menggoda memang sangat jitu, tahu betul dia apa yang ada di kalbu. Dengan bujuk rayu nan bertalu-talu, akhinya keyakinan sekeras batu pun bisa menjadi ragu-ragu. Namun tujuannya jelas hanya satu, agar cintaku yang murni dan sederhana kepada-NYA menjadi beku.

Alih-alih kepada-NYA tertuju, tak tahunya cintaku membara tak habis-habisnya diskusi seputar BUKU. Akibatnya, berbeda tafsiran, teman pun menjadi lawan. Tak sejalan dalam mengikut TUHAN, teman sepelayanan pun tak lagi masuk hitungan.Cintailah DIA dengan empati derita teman. Rangkul yang berbeda keyakinan. Kasihi lawan, bantu siapa saja yang membutuhkan. Tak harus pakar, tidak perlu terpelajar, apalagi pintar. Bukankah begitu mudah simple love dapat diwujudkan dalam keseharian? (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Renungan Lainnya :

Comments

comments