488. Terkotak-kotak

Viewed : 132 views

Aaahhh..! Kutemui diriku hanyut, terseret arus gelombang manusia yang berlari sekuat tenaga menuju satu arah yang tak terjelaskan. Kutatap ke kiri, kuperhatikan yang di kanan, bahkan yang di belakang—semua berlari seperti kesurupan. Sikut kiri, sikut kanan, tak peduli kawan—semua berlomba mencapai impian: hidup mapan!

Telah berlari puluhan tahun, namun belum terlihat garis akhir dari suatu kepuasan. Napas terengah-engah, tenaga kian menipis, dan kunang-kunang mulai menari di pelupuk penglihatan. Ini perlombaan yang bengis, tak mengenal belas kasih; yang terkapar, terlempar ke luar.

Tak ada penonton, apalagi wasit—sebab semua telah menjadi peserta, entah dikau mau ataupun malu-malu. Ini kejuaraan yang tiada duanya; sejak tangisan pertama saat lahir, daku telah terlempar ke arena pertandingan. Sebuah kompetisi tanpa akhir, pertarungan hidup dan mati di gelanggang kehidupan.

Ini bukan pilihan, melainkan takdir yang tak bisa dielakkan. Jangan terkejut, tak perlu kecewa—sebab yang menang maupun yang kalah, pada akhirnya akan menerima satu hadiah yang sama: sebuah peti dan sebidang tanah berukuran 1×2 meter.

Ada yang menuntaskan perlombaan di momen tangisan pertama, ada pula yang sempat menyaksikan generasi cucu beranak-pinak. Tak sedikit yang berakhir ketika tubuh masih gagah perkasa, namun kebanyakan perlahan-lahan digerogoti oleh degradasi metabolisme tubuh yang tak bisa ditahan.

Hanya sebegitukah hidup..?

“… betapa fananya aku! Sungguh, hanya beberapa telempap saja Kautentukan umurku; bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa. Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan! (Mazmur 39:4,5)

Kupikir, menjauh dari YHWH akan membuka jalan yang lebih menjanjikan. Namun ternyata, semua hanya bayang-bayang mimpi yang larut dalam ilusi. Semakin kukejar, semakin ia tersebar—seperti fatamorgana yang menari di padang gersang. Aku terbuai oleh ambisi yang tak pernah lelah, tersesat dalam hasrat yang tak mengenal batas. Seperti Anak Hilang dalam Lukas 15:11–27, manusia pun meninggalkan rumah BAPA, yakin bahwa kebebasan sejati ada di luar sana. Namun ketika segala hal tersedia, hati tetap terasa kosong—sepi yang tak bisa dijelaskan, hampa yang tak bisa diisi.

Untuk apakah semua kompetisi ini?

Ia [Manusia] hanyalah bayangan yang berlalu! Ia [Manusia] hanya mempeributkan yang sia-sia dan menimbun, tetapi tidak tahu, siapa yang meraupnya nanti. (Mazmur 39:4-6).

Aaahhh…! Daku mempeributkan hal-hal yang sia-sia. Namun bukankah, dalam dunia nyata, justru itulah yang dianggap paling mulia? Orang nekat bertarung nyawa demi meraih semuanya. Dan bila itu telah digenggam, untuk siapa sesungguhnya semua itu? Betapa tragis, bila apa yang kutimbun selama ini diraup dengan rakus oleh mereka yang tak kuduga hadir di depan mata.

Inipun kesia-siaan yang menyesakkan dada.

Aaahhh…! Entahlah! Yang terasa hanyalah hati yang lega, tatkala ibadah rutin seminggu sekali usai dengan ucapan berkat dari bapak Pendeta. Gejolak batin pun mereda, jiwa terasa adem—karena kewajiban rohani telah tertunaikan.

Rasa bersalah yang menusuk hati—karena hidup hanya berputar-putar di sekitar hal-hal duniawi—seketika pupus oleh doa berkat yang memohon pertolongan ilahi. Namun bayangan itu akan kembali menghantui sukma, satu minggu lagi! Dan akan terobati lagi… setelah berjabat tangan dengan hamba-hamba ilahi yang melayani ibadah hari ini.

Rutinitas yang tak henti-henti! Berputar-putar bak roda pedati—pekerjaan duniawi silih berganti dengan kegiatan rohani. Hidup pun terkotak-kotak: antara yang duniawi nan jasmani, dan yang spiritual nan rohani.

Aku lelah! Capek!

Hidup di dua dunia yang bertolak belakang sungguh menguras emosi. Di alam duniawi, ada ritme dan topengnya sendiri—yang seringkali bertentangan dengan irama alam rohani. Di satu sisi, sikut kiri sikut kanan adalah hal biasa. Di sisi lain, harus tampil dengan perangai “orang suci.” Dan semua ini… sungguh menekan jiwa.

Mungkinkah ibadah di Minggu pagi sama rohaninya dengan di Senin pagi—saat tak sempat sarapan, dan harus buru-buru mencari sesuap nasi? Adakah kehadiran ilahi juga menyelinap di antara deru langkah kaki?

Mungkinkah altar itu bukan hanya di bawah kubah gereja, melainkan juga di bawah langit pasar yang berdebu? Ataukah justru di suasana mencari sesuap nasilah ibadah yang paling murni nan sejati sedang terjadi di dalam kalbu? Apakah begitu? Daku tidak tahu! (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Comments

comments