487. Sekularisme

Viewed : 169 views

Dalam cakrawala makna dan tujuan hidup, pemberontakan Babel menjelma sebagai luka purba yang membekas dalam sejarah kemanusiaan. Gaungnya tak berhenti di dataran Babel, melainkan terus merambat kian kemari sehingga peradaban terasa semakin membandel.

Pada era inilah manusia, dengan kesadaran penuh, mengerahkan kehendak bebasnya untuk melepaskan diri dari YHWH. Pilihan ini diteguhkan oleh semangat kebersamaan yang sengaja diarahkan untuk menolak tunduk dan enggan taat pada maksud keberadaannya di muka bumi.

Mandat Eden agar keturunan Adam dan Hawa berlipat ganda memenuhi seluruh bumi (Kejadian 1:28), dan mandat serupa yang kembali disuarakan kepada generasi Nuh untuk bertambah banyak hingga meliputi bumi (Kejadian 9:1), di Babel ditolak mentah-mentah. Di sana, peradaban mengangkat suaranya, menggema ke langit, berteriak lantang: “TIDAK!”

Kemudian, mereka berkata, “Mari kita membangun kota bagi kita sendiri dan menara yang puncaknya sampai ke langit; dan marilah kita mencari nama bagi diri kita sendiri supaya kita jangan tercerai-berai ke seluruh muka bumi.” (Kejaidan 11:4, AYT)

Bertolak dari sikap ini, setiap maksud-Nya dipandang sebagai penghalang arus kemajuan kebudayaan, berseberangan dengan hasrat terdalam insan. Seakan manusia tak henti menaruh curiga pada setiap niat baik-NYA. Hati tidak dapat diam untuk mencari dalih untuk melawan-NYA.

YHWH menghendaki agar umat manusia bertambah banyak hingga memenuhi seluruh permukaan bumi, namun di Babel kehendak itu dicurigai sebagai siasat untuk mencerai-beraikan kerukunan dan kesatuan. Alih-alih menantikan peran-Nya, peradaban memilih “mencari nama bagi diri sendiri,” bersandar sepenuhnya pada kekuatan sendiri terlepas dari cawe-cawe ilahi.

Sikap hati peradaban ini merusak relasi dengan YHWH. Bibit ketidakpercayaan—seperti kecurigaan—menjadi racun yang menodai hubungan yang normal. Keraguan terhadap kebaikan hati-NYA sejatinya sama dengan menolak mengakui YHWH sebagai landasan utama maksud keberadaan peradaban. Maka DIA pun membiarkan manusia menentukan jalannya sendiri.

Jika dahulu manusia ibarat planet yang setia mengitari matahari, maka sejak Babel ia menjadikan dirinya matahari, memaksa yang lain berputar di sekelilingnya. Bahkan YHWH pun, dalam kesombongan hati insani, seakan-akan harus tunduk di bawah kendalinya.

Bagi peradaban, batas Kerajaan YHWH berhenti tepat di garis awal pemerintahannya sendiri. Deklarasi Babel menjadi saksi tragedi: YHWH diusir dari ruang hidup makhluk ciptaan yang bernama manusia. Sebuah ideologi yang menafikan campur tangan alam supranatural dalam denyut keseharian.

Bolehlah dikatakan, proklamasi peradaban ini menjadi cikal bakal lahirnya sekularisme di abad modern—suatu pandangan hidup yang memisahkan urusan duniawi nan jasmani dari kehidupan spiritual nan rohani. Bagi paham ini, realitas sehari-hari hanyalah perkara duniawi yang bersifat jasmani. Maka, tidak ada lagi ruang bagi peran ilahi, sebab segala sesuatu dianggap dapat diuraikan oleh akal budi.

Sekularisme memandang dunia terpisah dari alam adikodrati. Dunia dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri—bukan bayangan dari kehendak ilahi—melainkan ruang yang dapat dijelajahi dan dimengerti melalui akal manusia serta pengalaman hidupnya.

Manusia yang dahulu dipandang sebagai gema dari suara ilahi, kini melangkah dengan iramanya sendiri. Sekularisme memisahkan langit dari bumi, roh dari materi. Hidup ditafsirkan melalui panca indra insani—bukan lagi melalui suara yang turun dari sorgawi.

Akibatnya fatal! DIA tersingkir dari kehidupan sehari-hari!

Menikah, melahirkan generasi baru—sebuah proses alami yang terasa ganjil bila dikaitkan dengan mandat Eden. Pagi berangkat bekerja, siang beristirahat sambil menyantap bekal, malam pulang ke rumah bertemu keluarga. Rutinitas yang berulang ini terasa janggal jika dianggap bagian penting dalam menggenapi misi ilahi di muka bumi.

Tak terelakkan, hidup ini terasa bagai kerbau yang hanya dibebani kerja demi sekadar bertahan. Sebuah petaka yang merampas kesadaran akan tujuan—hingga Adinda tak lagi tahu untuk apa hidup di bawah matahari.

Aaahhh…! (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Comments

comments