Narasi di balik Menara Babel jauh lebih dahsyat dari sekadar kisah keajaiban teknologi konstruksi bangunan pencakar langit di era purbakala. Alkitab menempatkan drama ini sebagai bagian dari seri pemberontakan makhluk ciptaan, kelanjutan dari kisah pembangkangan di Kejadian pasal 3 dan 6.
Bisa dikatakan, Kejadian pasal 11 merupakan puncak drama dari seri pemberontakan umat manusia. Kisah Babel menjadi semacam penyempurna atas sikap pilihan sadar insan yang terwakili di kisah Babel sebagaimana kisah Adam dan Hawa mewakili seluruh umat manusia.
Pemberontakan pertama terjadi dalam Kejadian pasal 3 (Adam dan Hawa), kedua di pasal 6 (era Nuh), dan yang pamungkas di pasal 11 (Menara Babel). Yang terakhir ini melengkapi dan sekaligus menutup “narasi pembuka” Alkitab, yakni kisah dari Kejadian 1 hingga pasal 11. Ketiga mbalelo ini menjadi latar belakang sisa narasi Alkitab selanjutnya. Kisah, drama, puisi, maupun sejarah yang dinarasikan dalam kitab Kejadian 12 hingga Wahyu 22 beranjak dari ketiga perlawanan tersebut.
Begitu dahsyatnya drama yang terakhir ini, sehingga misteri Babel menjadi narasi klimaks di kitab Wahyu (Wahyu 14:8; 18:2). Rahasia nama Babel (Wahyu 17:5) menjadi perlambang sikap peradaban yang berzina secara rohani, memilih secara sadar untuk membelakangi YHWH dan merangkul yang lainnya.
Ketiga jenis pemberontakan ini memiliki esensi yang sama: nafsu untuk terlepas dari kendali YHWH, obsesi untuk hidup mandiri mutlak, serta ambisi menjadi setara dengan Sang Mahatinggi (Yesaya 14:13-14). Namun, narasi kitab Kejadian pasal 11 memberikan petunjuk drama yang lain sama sekali.
“Juga kata mereka: ‘Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.'” (Kejadian 11:4)
Apa pun maksud pernyataan ayat 4 di atas, satu hal yang pasti: peradaban secara bersama-sama, menyeluruh, dan dengan suara bulat sadar melawan titah YHWH! Ini adalah upaya perlawanan terang-terangan untuk tidak lagi berada di bawah otoritas Kerajaan-Nya. Sebaliknya, umat manusia mengambil alih masa depan dan dengan jumawa bergantung kepada kemampuan sendiri untuk menentukan arahnya sesuai keinginan hati.
“Supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi!” Inilah satu-satunya sikap terus terang peradaban menolak perintah pertama dan utama agar manusia berlipat ganda memenuhi bumi (Kejadian 1:28; 9:1). Ini sama saja menolak mentah-mentah maksud dan tujuan keberadaan insan di muka bumi. Alih-alih mengikuti rancangan YHWH, manusia justru mengikuti keinginan hatinya untuk menentukan takdir sendiri.
Drama singkat Menara Babel yang hanya sembilan ayat (Kejadian 11:1-9) ini menunjukkan ekspresi kehendak bebas (free will) yang serupa dengan yang ditemukan dalam versi lebih modern di kitab Roma 1:18-32. Kalau sudah menyangkut pilihan hati, seperti drama di Taman Eden, Sang Mahakuasa pun seolah “tidak dapat berbuat apa-apa!”
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka…” (Roma 1:24)
Terhadap pilihan hati ini, YHWH seakan berkata, “Kalau itu pilihanmu, ya silakan!” Ini ibarat seseorang yang mencopot cincin pertunangan dan melemparkannya ke tong sampah (2 Korintus 11:2) sebagaimana tanda relasi putus sudah. Dan Dia berpaling dari peradaban; sesuai keinginan hati, umat manusia memilih jalan sendiri.
Sebagaimana “trailer” di Taman Eden, begitu juga di Babel, dan sama pula di era abad ke-21! Pilihan hidup ada di tangan Puan danTuan. Apakah Anda akan memilih jalan sendiri atau memilih mengikuti Sang Ilahi?
Jika dahulu pilihan begitu jelas antara hitam dan putih, sekarang mungkin jauh lebih sulit karena “abu-abu”. Bisa saja daku tampak semangat melakukan pekerjaan ilahi, membuat umat kagum dan kolega iri. Namun, siapa tahu, jauh tersembunyi di sudut hati, itu sejatinya obsesi pribadi untuk meninggikan nama diri sendiri.
Misteri Babel telah merajalela di segala sisi, termasuk di lingkungan rohani. Tidak ada yang imun. Daku harus hati-hati dan senantiasa introspeksi diri.
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes. Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM |
