489. Labirin Kehidupan

Viewed : 137 views

Di Babel, peradaban menceraikan diri dari YHWH, bersikeras menapak jejaknya sendiri. Bukannya meninggikan Nama-NYA, manusia justru bersiteguh meraih nama demi kemuliaan diri (Kejadian 11:4). Maka berdirilah menara, bukan sekadar batu dan bata, melainkan kesombongan yang hendak menyentuh langit tempat DIA bertahta.

Ambisi kesetaraan itu telah bersemayam dalam hati si ular sejak di Taman Surga (Yesaya 14:13–14), dan di Babel, niat tersembunyi itu disambut dengan sorak sukacita. Di Eden, Adam dan Hawa terpikat oleh rayuan si durhaka (Kejadian 3:4–6), hingga melanggar titah Sang Pencipta. Namun di Babel, bukan karena tipu daya, melainkan dengan mata terbuka, peradaban memilih untuk tidak setia.

Tatkala diingatkan, Adam dan Hawa tersadar: mereka telah melampaui batas yang telah ditetapkan. Dengan reaktif, mereka membela diri sambil berdalih: “Ular itulah yang memperdayakan aku, maka kumakan.” (Kejadian 3:13). Sebaliknya, di Babel, manusia tidak lagi berdalih. Mereka sepakat bulat, bukan karena tertipu, melainkan karena tekad: memutus cawe-cawe ilahi dan menegaskan otonomi sebagai kredo peradaban. Di Eden, pelanggaran lahir dari bujukan; di Babel, dari keputusan.

ALANGKAH bodohnya bangsa-bangsa yang marah kepada TUHAN! Sungguh aneh bahwa mereka berusaha mempedayakan Allah! Karena bangsa-bangsa telah bersepakat untuk menentang TUHAN dan Mesias-Nya, Kristus yang telah diurapi-Nya. “Marilah kita putuskan rantai-rantai-Nya dan melepaskan diri dari perbudakan Allah,” kata mereka. (Mazmur 2:1-3, FAYH. Lihat juga referensi di Kisah Para Rasul 4:25-26)

Peradaban pun berjaya—merasa bebas nan merdeka karena telah terlepas dari kungkungan Sang Raja. Layaknya perumpamaan Si Anak Hilang dalam Lukas 15:11–27, di luar rumah BAPA, manusia menganggap leluasa telah terlepas dari perbudakan aturan-aturan ”Rumah Tangga!” Otonomi yang diidam-idamkan dalam mengekspresikan potensi diri. Kini suka-suka menari-nari di atas panggung peradaban tanpa khawatir ada mata ilahi yang mengawasi!

Ini tindakan bodoh! Namun bagi peradaban, justru dianggap langkah piawai. Mandat ilahi dipandang sebagai belenggu, penghalang utama untuk peradaban maju. Pengekang ambisi insan untuk hidup mandiri. Segala hal yang berkaitan dengan alam adikodrati—yang melampaui nalar dan kendali manusiawi—akan dianggap tantangan yang suatu saat akan terpecahkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan.

YHWH—nama yang dahulu digemakan di lembah dan puncak, kini disingkirkan dari lorong-lorong peradaban. Sejak Babel, suara-Nya dianggap asing, bahkan bising: penghalang bagi menara yang hendak menjulang tanpa fondasi ilahi. Peradaban bersorak-sorai: “Kami telah mencapai cakrawala! Kami mampu mencakar langit dengan tangan kami sendiri!” Dan langit pun diam, menunggu saatnya berbicara kembali!

Di Babel, langkah peradaban gegabah—sebuah tarian di atas fondasi yang rapuh. Mandat ilahi, kompas yang menuntun arah dan makna keberadaan, nekat diganti dengan ambisi hati. Manusia pun kehilangan penunjuk jalan: bukan sekadar peta, tapi arah pulang. Ia berjalan, berputar, membangun, merayakan, namun semua berakhir di sebuah peti. Manusia kehilangan orientasi dan bumi pun menjadi labirin kehidupan.

Ibarat sebuah perjalanan menuju kota mega-metropolitan, bayangkan mencari alamat tanpa penunjuk arah, tanpa penanda—tanpa google map! Di tiap simpang, angin bertanya: ke kiri atau ke kanan? Setiap persimpangan menjadi teka-teki yang menakutkan. Lebih parah lagi, alamat tujuan pun kabur, bahkan mungkin tidak pernah ada. Maka, di tengah kebingungan, tiap belokan jadi kebenaran—karena arah kini ditentukan oleh cuaca batin zaman.

“Tidak ada kebenaran mutlak,” pekik suara peradaban dengan lantang. Segalanya menjadi relatif, sebab setiap insan menjadikan dirinya sebagai Google Map! Era digital membangun altar dari algoritma, menyalakan dupa dari data, dan menyanyikan mazmur dalam bentuk kode sebagai pengganti liturgi yang tidak sesuai di hati. Manusia kehilangan makna: kehilangan sesuatu yang terlalu berharga untuk hidup yang begitu singkat di bawah sang surya.

Pilihan di persimpangan jalan tak lagi hanya melanda kehidupan sehari-hari, melainkan telah merengsek masuk ke ruang terdalam: alam rohani. Kompas kehidupan—terutama di wilayah spiritual—telah lenyap entah ke mana. Dan ketika arah tak lagi ditemukan, daku, dan mungkin juga dikau, lebih memilih tunduk pada keputusan kaum elite rohaniawan: mereka yang bicara atas nama langit, namun kadang lupa menatap-NYA.

Rasa bersalah yang ditanamkan oleh para pemangku “kursi Musa” menjadi beban yang teramat berat yang menindih daku, yang hidupku telah dicap termasuk ke dalam katagori duniawi (Matius 23:2,4).

Lengkaplah sudah!

Di pekerjaan, daku digilas habis oleh stres tanpa ampun; di ranah rohani, ditanamkan kewajiban-kewajiban yang menekan.

Aaahhh..!

Seruan ini bukan sekadar keluhan, melainkan jeritan dari hati terdalam, di mana langit terasa jauh, dan bumi tak memberi pijakan.

Di sana, daku berdiri sendiri—di antara beban dunia dan tuntutan surga—menanti rema untuk keluar dari labirin dunia. Di sana daku menanti suara yang bukan berasal dari kaum alim ulama, melainkan dari sorga yang mengoyak cakrawala untuk membuka jalan pulang kembali ke rumah BAPA..🙏🏼 (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Comments

comments