Ibarat sinar yang lenyap tanpa jejak ketika terlepas dari sang surya—hangatnya pun sirna, panasnya pun tak terasa. Seberapa pun kerasnya upaya agar cahaya tetap menyala, jika terputus dari sumbernya, maka semuanya akan berujung sia-sia.
Demikian pula manusia. Ketika ia melepaskan diri dari relasi dengan Sang Pencipta, arah hidup menjadi suka-suka. Keberadaan di bawah matahari kehilangan makna. Tanpa kaitan dengan Sang Pencipta, manusia kehilangan kompas kehidupan, terlunta-lunta dalam jagad raya. Jika sumber makna ditinggalkan, maka bukan hanya tujuan yang hilang—alasan utama keberadaan pun ikut terbuang.
Peristiwa Babel menjadi titik balik dalam sejarah peradaban. Di sana, umat manusia secara kolektif menetapkan arah hidup berdasarkan kehendak sendiri. Narasi Kejadian 11:4 mencatat tekad mereka membangun kota dan menara “…supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi”—sebuah penolakan terhadap mandat ilahi untuk memenuhi dan menaklukkan bumi (Kejadian 1:28; 9:1). Babel menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas Sang Ilahi dan penegasan otonomi manusia yang berpusat pada diri.
Babel adalah bentuk pembangkangan kolektif ciptaan terhadap Sang Pencipta. Manusia menyatakan tekad untuk membentuk tatanan kehidupan menurut versi insani—sebuah usaha merekonstruksi Eden tanpa kehadiran Ilahi. Tindakan ini menyerupai kudeta budaya, menempatkan manusia sebagai nahkoda sejarah terlepas dari rancangan surgawi.
Kota Babel juga menandai lahirnya kecenderungan sekulerisme dalam sejarah umat. Di sana, manusia secara sadar berusaha melepaskan diri dari ketergantungan pada Sang Ilahi. Dalam drama ini, YHWH disingkirkan dari ranah duniawi. Urusan lahiriah diklaim sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Dimensi spiritual hanya bagi mereka yang dianggap berpikiran kolot.
Misteri Babel kini menyusup ke segala lini kehidupan. Kian hari, belangnya semakin ”unjuk gigi”. YHWH tersingkir dari kehidupan sehari-hari, seakan tidak lagi relevan untuk hidup di masa kini. Unsur adikodarati menjadi asing dalam peradaban, dan keterkaitan-NYA dengan isu-isu logis dianggap tak lagi dibutuhkan. Daya nalar menjadi komando utama dalam memahami hidup; di luar itu, segalanya dianggap tahyul belaka.
Aaahhh… dalam dunia sekuler, sosok yang beraroma ilahi tegas dihindari. Segalanya tampak jelas: hitam atau putih. Berbeda dengan daku di dunia rohani, di mana segala sesuatu menjadi abu-abu. DIA seperti ada nan tiada—kehadiran-NYA utama, atau sekadar pelengkap penderita. DIA hanya dicari saat kehidupan terasa nyaris mati! Jika semua baik-baik saja, siapa lagi yang peduli akan DIA!
Di berbagai sudut kehidupan, barangkali Adinda mulai menata kehadiran-NYA menurut irama batin sendiri. Bahkan menetapkan waktu dan tata cara kapan DIA layak disapa. Sang Ilahi kini seolah berada dalam genggaman. Berkat teknologi mutakhir, hal-hal yang dahulu mesti bersandar pada takdir ilahi, kini seakan bisa dibuka, dibaca, bahkan ditafsir ulang oleh mesin pengelola big data.
DIA telah ada di bawah kendali! Dan manusia memanipulasi-NYA sesuai dengan selera, dan DIA diam seribu bahasa!
Peradaban telah berhasil mendirikan “…sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit,” (Kejadian 11:4). Manusia merasa telah mampu menjangkau langit dan menyetarakan diri dengan-NYA! Sebuah mahakarya yang menyerupai menara Babel—simbol ambisi kolektif yang menantang batas alam surga. Namun, pada saat yang sama, umat manusia justru kehilangan hal yang paling hakiki: makna kehidupan.
Ketika manusia menobatkan diri sebagai pusat semesta, maka tanda-tanda kehancuran telah menyelimuti cakrawala. Eden buatan manusia, yang dibentuk tanpa mengikuti rancangan mula-mula, akan berujung pada malpetaka! Ini bukan sekadar kemungkinan—melainkan keniscayaan.
Bayang Babel kembali menjulang megah, merambat ke semua arah, bahkan menembus ruang ibadah! Tak seorang pun tahu, sampai kapan drama ini akan ”tutup buku!” (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes. Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM |
