Penggunaan kata tartarus oleh rasul Petrus yang dikutip dari sumber budaya non-Yahudi membuka wawasan baru dalam memahami drama kitab Kejadian 6:1-4 dan juga kemungkinan narasi-narasi lainnya dalam Alkitab. Untuk menjelaskan apa yang terjadi, Roh Kudus ternyata juga mendorong penulis untuk mengadopsi istilah yang lagi populer di kala itu. Dengan istilah tersebut, pembaca di era itu maklum akan apa maksudnya.
Tidak hanya kata tartarus dari sumber mitologi Yunani, kisah-kisah lainnya di Perjanjian Baru (PB) juga lazim mengutip dari sumber-sumber yang dikenal luas oleh msyarakat di zaman itu. Para penulis PB sepertinya bebas mengutip cerita rakyat yang populer untuk menjelaskan berita yang hendak disampaikan.
Dalam usaha menjelaskan Injil kepada para filusuf di kota Atena, rasul Paulus tampil di arena debat Areopagus (Kisah Para Rasul 17:21-32). Sambil memperhatikan kehidupan masyarakat kota Atena yang dipenuhi kuil, sang rasul terpaku matanya ke satu altar dengan tulisan ’Kepada Allah yang tidak dikenal.’ (ayat 23).
Frasa ’kepada Allah yang tidak dikenal’ berasal dari kisah Epimenides, seorang penyair dari Kreta sekitar abad ke-6 SM. Saat wabah melanda Athena, Epimenides menyarankan untuk melepaskan domba dan mengorbankannya di tempat mereka berbaring, sebagai penghormatan kepada dewa-dewa yang tidak dikenal. Wabah mereda, dan altar-altar untuk ’Allah yang tidak dikenal’ didirikan di Athena, sebagai pengakuan akan adanya dewa-dewa yang tidak dikenal.
Siapa nyana, ratusan masa kemudian kisah Epimenides menjadi jalan bagi rasul Paulus menjelaskan siapa Allah yang tidak dikenal itu. Perdebatan berlangsung seru, sebagaian besar cerdik pandai tertawa dengan penjelasan rasul Paulus. Ketika sampai kepada topik diskusi kebangkitan orang mati, itu menjadi isu antiklimaks (ayat 32). Isu itu mungkin mereka anggap hanya sekadar bak cerita anak-anak Sekolah Minggu. Namun ada juga filusuf yang tertarik kepada berita yang disampaikan rasul Paulus (ayat 34).
Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. (Kisah Para Rasul 17:28)
Dalam ayat di atas, rasul Paulus dengan bebas mengutip tulisan pujangga-pujangga sastra Yunani untuk menyampaikan pesannya. Frasa ‘Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada’ dikenal sebagai karya Epimenides.
Sedangkan frasa ’Sebab kita ini dari keturunan-Nya juga,’ kemungkinan besar berasal dari pujangga Aratus dari Soli, seorang penyair Yunani yang hidup pada abad ke-3 SM. Dalam karyanya yang terkenal, ’Phaenomena,’ Aratus menulis tentang alam semesta dan menyinggung tentang manusia sebagai keturunan dewa Zeus. Kutipan ini berasal dari bait yang mengatakan: ’Kita adalah keturunan-Nya’ (menyiratkan Zeus).
Bukan hanya rasul Petrus, Yudas, dan Paulus, Mesias pun tidak canggung untuk mengutip bahkan membenarkan pribahasa yang dikenal luas oleh masyarakat umum!
Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang lain menuai. (Yohanes 4:37).
Apakah dengan demikian kisah legenda Epimenides dan yang lainnya merupakan cerita yang benar-benar terjadi? Apakah legenda itu sebagai bagian dari tulisan yang diilhamkan Roh Kudus sebagaimana halnya dengan Alkitab? Sudah tentu tidak! Namun cerita rakyat ataupun kebijakan lokal digunakan sebagai cara untuk menyampaikan pesan ilahi!
Lalu, apakah dari penggunaan kata tartarus dan penjelasan lanjutnya dalam 2 Petrus 2 dan Yudas tersebut dapat ditelusuri kisah lanjut dari generasi anomali dalam Kejadian 6:2,4? (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes. Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM |