Sakit bersalin menyebar ke seluruh dunia. Tak pandang bulu. Pria atau wanita. Orangtua, anak-anak ataupun remaja. Semua terperangkap dalam deranya. Itu nasib manusia. Mahkluk yang terusir dari Taman Sorga. Setiap individu menanggung bebannya. Berjalan rintih di jalan gulita. Harap-harap cemas secercah cahaya terbit di ujung sana.
Mungkinkah tadinya bersalin itu pengalaman gembira yang dinanti-nantikan? Kabar sukacita yang dirindukan. Anugerah khusus hanya bagi manusia kekasih-Nya. Kegembiraan bagi seluruh dunia. Jagad raya tak kasat mata juga turut ria. Selama sembilan bulan melaluinya dengan riang tak terkatakan. Setiap saat istimewa. Saban menit jam dan hari tak ridho begitu saja dilewatkan.
Berlalulah bulan demi bulan. Setiap moment adalah ekspresi kemahaan-Nya. Perwujudan hasil karya yang tiada duanya. Setiap insan yang terlahir ke dunia. Unik dan tidak ada rupa yang sama. Sebagaimana Dia yang serba maha. Dibutuhkan tak terbilang anak cucu manusia. Supaya insan manusia memenuhi seluruh dunia. Dengan demikian rupa-Nya mulai terujud nyata di dunia.
Dibutuhkan jumlah manusia yang tak terhingga. Dari Adam dan Hawa. Mereka diperintahkan untuk berlipatganda. Seakan setiap yang lahir dibutuhkan. Tak ada yang disia-siakan. Tiada yang percuma. Semuanya diinginkan. Seluruh keberagaman dan perbedaan diperlukan. Untuk mengisi ruang kosong dari suatu jigsaw puzzle rupa Sang Maha.
God blessed them: “Prosper! Reproduce! Fill Earth! Take charge! Be responsible for fish in the sea and birds in the air, for every living thing that moves on the face of Earth.” (Kejadian 1:28, the Message)
Terjemahan bebas dan paraphrasing:
Tuhan tersenyum puas. Dan antusias memberkati mereka: “Selamat! Alangkah beruntungnya Adinda. Sehat dan sejahteralah! Nikmatilah! Berbunga-bungalah kalian sebagai suami istri. Senang nian romantisme asmara. Itu cinta berbuah manis anak cucu. Jangan henti. Teruslah bergairah sebagai suami istri. Ayo! Jangan diam-diam. Semangat! Hingga bumi penuh terisi. Ambil alih! Kelola semua makhluk hidup. Ikan di laut dan burung di udara serta semua yang bergerak di muka Bumi. Itu semua untukmu. Agar dikau lanjut beranak cucu.”
Yes, yes, yes! Setiap peristiwa kelahiran anak manusia. Kehadiran daku dan dikau. Itu buah manis nan merdu dari cinta. Asmara bak cinta pertama di Taman Sorga. Sang Cinta ikut bahagia! Dia senang dan gembira selamanya. Dia tak dapat menyembunyikan kegembiraan-Nya. Karena dikau terlahir di dunia!
Kegembiraan-Nya bak orangtua menyambut bayi lahir anak pertama. Anak yang sudah begitu lama rindu digada-gada. Setiap jumpa tetangga. Berpapasan dengan rekan kerja. Apalagi teman segereja. Tak lupa bapak pendeta. Semua turut mendoakan agar segera. Menimang anak buah cinta. ‘Itu jawaban doa,’ kata semuanya. Orangtua bahagia tak terkira. Ibarat mimpi menjadi nyata. Dan Dia turut bahagia!
Gema sukacita-Nya terpancar ke mana-mana. Setiap sudut di alam semesta turut serta. Gembira! Itu berkumandang sampai di langit hingga angkasa. Tak terkecuali dunia yang tak kasat mata. Sejatinya, langitpun turut bersukacita. Malaikatpun berdendang ria. Bala tentara langit turut menari tarian sorga. Menyambut Adinda. Karena dikau menjadi ‘ada.’
Tiba-tiba malaikat itu disertai oleh sejumlah besar malaikat, yaitu bala tentara surga, yang menyanyi memuji-muji Allah: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang tertinggi dan damai di bumi bagi semua orang yang menyukakan hati-Nya.” (Lukas 2:13,14)
Ups! Itu tidak nyata. Bangunlah dari lamunan. Di luar taman Eden derita semata. Kehadiran daku dan dikau menjadi fakta. Betapa sakitnya hidup di dunia. Sakit bersalin yang melanda umat manusia. Bagaimana bersukacita jika sakitnya tak terkira. Bukankah dikau dapat rasakan. Bahwa dalam setiap penderitaan. Jelas dapat dirasakan. Masing-masing jalan sendirian.
Apakah Sang Cinta tega membiarkan. Daku dan dikau menderita sendirian. Menjerit berseru karena begitu berbedanya apa yang diharapkan dengan kenyataan. Lebarnya kesenjangan apa yang diketahui dan apa yang diperhadapkan. Sejujurnya, semua merasa perih di hati. Sakit hati yang tak terobati. Kekasih hati kutinggal pergi. Dan Dia raib dari diri.
Daku jalan sendiri. Melangkah resah seorang diri. Mengikuti waktu yang berlalunya lambat sekali. Ku melangkah tertatih-tatih sepanjang hari ke hari. Hidup seperti dalam bayangan hampa. Bak mengejar fatamorgana. Lelah tak dapat-dapat jua. Sekeliling diam tak ada suara. Sunyi sepi tak ada kata. Semua diam tertunduk tidak bicara. Mungkinkah Dia telah meninggalkan panggung drama?
Ataukah daku tak dapat lagi mendengar sapaan-Nya?
Di dunia hiruk pikuk nan bising. Sibuk grasak grusuk tak sempat lagi hening. Luput dengar dari nada sekeliling. Akibatnya menderita sakit pusing tujuh keliling. Masih mungkinkah mampu mendengarkan suara tak berbunyi? Suara yang tak berirama. Tidak ada nada. Suara dari keheningan, the sound of silence. Irama dari kensenyapan. Semoga dikau masih dengar suara-Nya walau tak ada tanda-tanda. Apalagi nada. (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.
Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” karya NSM |
Image by Free-Photos from Pixabay




