Nama + Cinta = Misteri

Viewed : 993 views

Para sahabat yang terkasih.

Saya menjumpai sebuah gejala bahwa sebuah nama mempunyai makna khusus ketika perasaan cinta turut beserta di dalam hubungan yang ada.

Sampai sekarang nama asli saya ternyata tidak pernah terucapkan dari mulut istri saya, biasanya menggunakan kata ganti atau nama panggilan tertentu, “sayang”, “ayah”, “mas”, dan seterusnya. Hal itu saya jumpai sejak sebelum berpacaran, berpacaran atau bahkan setelah menikah. Ternyata saya belum pernah mendengar dia memanggil saya dengan menyebut nama asli saya. Dan ternyata hal sebaliknya juga terjadi.

Ketika salah satu pasangan harus menyebut nama yang sebenarnya pun, rasanya saya menjumpai sebuah nada yang berbeda baik secara implisit maupun eksplisit; dimana nuansa kasih sayang, penghormatan, pujian, dan sanjungan menjadi satu; di dalam cara mengungkapkan, tekanan, intonasi, gesture atau pilihan bahasa yang digunakan.

Atas nama cinta, maka bahasa verbal menjadi terbatas maknanya, karena sinyal-sinyal cinta itu dijumpai di dalam seluruh eksistensi jati diri orang yang dicintainya. Nama itu ternyata melebur di dalam jati diri pribadi yang kita cintai, dan nama itu sendiri menjadi sesuatu yang intim dan sakral.

Demikian juga jika kita mengamati hubungan-hubungan alamiah informal kita sehari-hari.

Di dalam berbagai tradisi, bahkan sebuah nama hampir tidak pernah disebutkan ketika sudah memasuki kehidupan keluarga, dan secara khusus ketika mempunyai anak. Misalnya anaknya bernama Kasih, maka nama kedua orang tua di dalam pergaulan keluarga sudah berganti, menjadi Bapak Kasih atau Bundanya Kasih; pun demikian nama kakek dan neneknya. Nama anak yang merupakan buah cinta di dalam hubungan pasangan suami istri melekat erat di dalam identitas ke dua orang tuanya. Identitas aslinya bahkan lebur, digantikan nama anaknya.

Nama itu menjadi simpul pengikat di dalam merenda relasi-relasi yang ada, untuk mendefinisikan keberadaan seseorang di dalam ikatan tradisi yang ada (Ayah (si) Kasih, Kakek Kasih, Paman Kasih, Sepupu Kasih, Bibi Kasih, Anak Kasih, Cucu Kasih, … dsb.). Jikalau ada nama dan tidak ada kena mengenanya dengan nama Kasih maka dia tidak ada di dalam ikatan tradisi tersebut.

Apa nama itu menjadi sakral ketika disitu diikat di dalam bahasa cinta? Bagi saya itu adalah misteri.

Tetapi ternyata cinta dan kegentaran itu seperti dua sisi mata uang di dalam diri manusia.

Kegentaran terhadap sesuatu juga membuat kita takut untuk menyebut jadi diri yang sebenarnya. Dari sudut pandang budaya bangsa Indonesia khususnya di Sumatera, harimau mendapat tempat khusus atau boleh juga disebut tempat terhormat. Di Tapanuli Selatan harimau dalam bahasa daerah disebut babiat, tetapi jangan pakai kata itu sembarangan. Tabu.

Harimau di Tapanuli disebut dengan panggilan terhormat Ompung, ya benar ompung itu artinya kakek atau orang yang dihormati. Jadi kalau di hutan jangan menyebut namanya dan minta permisi kalau memasuki arealnya , kira-kira seperti ini : ” Ompung numpang lewat ya”, (bahkan bukan hanya harimau, nama orang tua kitapun pantang disebut, maka menyebut nama orang di sana adalah dengan menyebut nama anak atau cucu).

Hal yang demikian juga dijumpai di dalam masyarakat adat yang mempercayai adanya penguasa spiritual suatu wilayah. Nama penguasa spiritual tersebut diungkapkan dengan penuh hormat dan kegentaran untuk minta permisi ketika memasuki area nya atau ingin beraktivitas dengan selamat di wilayahnya.

Tetapi bukankah cinta yang sejati itu mengalahkan kegentaran, serta justru membangkitkan keberanian. Di dalam cinta yang sejati tidak ada kegentaran.

*

Sebutan kepada orang yang dikasihi pun ternyata juga mengalami sebuah kemunduran.

Salah satu contoh adalah sebutan untuk ibu di dalam bahasa Jawa, yaitu “Simbok/mBok”, saya teringat orang tua saya menggunakan kata itu dengan penuh hormat dan keanggunan ketika berbicara dengan ibunya (nenek saya), tetapi ternyata sekarang kata itu digambarkan melalui media TV hanya diperuntukkan bagi para wanita pembantu rumah tangga, seperti ditampilkan di sinetron-sinetron, pun bukan dengan hormat dan penuh keanggunan tetapi dengan ungkapan yang sebaliknya, yang mempunyai konotasi yang merendahkan.

Ketika hubungan alamiah, ibu – anak – saudara – orang lain, di dalam makna yang asli nya karena berdasarkan cinta dan penghormatan, digantikan sebuah pola hubungan yang bersifat material, maka yang terjadi adalah hubungan yang antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Nama itu menjadi berkurang maknanya, penghargaan atas identitas mengalami penurunan, “siapa” itu tidak menjadi penting tetapi “apa” itu yang menjadi tujuannya.

Kita akan kehilangan noktah-noktah cinta di dalam pola hubungan yang demikian.

Saya teringat sebuah ungkapan dari seorang Ibu, ketika dia membela apayang dilakukan anaknya yang telah berlaku sembrono. Dimana semua orang secara sosial ingin menghukumnya dan memberikan ganjaran yang pantas untuk anaknya. Ibu itu bilang, “Dia itu adalah anakku!” Akhirnya semua orang mundur untuk mengajukan dakwaannya.

Seruan itu adalah seruan yang paling berotoritas yang pernah saya dengar. “Siapa” dia itu sangat berharga, lebih dari segala kesalahan yang dia lakukan. Kesalahan bisa perbaiki, keadilan bisa dinyatakan, tetapi kasih tetap harus dinyatakan. Kasih ibu kepada anaknya melekat erat. (Lihat juga: Perempuan Berkalung Sorban)

*

Betapa terbatasnya kata-kata di dalam mengungkapkan cinta, tetapi betapa tidak terbatasnya bahasa cinta diungkapkan.

Cinta itu bukan berbicara tentang “apa”, tetapi tentang “siapa”. Kata “siapa” memberi implikasi kepada kebutuhan untuk meletakkan identitas di dalam tempat yang sebenarnya. Siapa saya – siapa anda – siapa mereka, adalah manusia ciptaan Alah yang berharga.

Siapa Anda tidak tergantung embel-embel lahiriah pun religiusitas yang dicapai, tetapi terletak kepada siapa yang mengasihi dan menerima diri Anda dengan cinta yang tanpa syarat.

Itu sangat berharga dan tidak tergantikan.

Sebagai pengikut Yesus Kristus saya menyadari bahwa di dalam kacamata iman, yang pertama Allah lakukan adalah mengangkat saya menjadi anak, seorang anak yang tidak dilahirkan dari daging, atau keinginan seorang anak manusia, tetapi dari Allah. Status saya, “siapa” saya dipulihkan secara rohani. Saya seperti anak hilang yang ketika pulang disambut dengan kemeriahan pesta untuk merayakan kasih penerimaan tanpa syarat Ayah saya. Itu adalah inti sukacita INJIL.

*

Saya tidak tahu Anda itu “siapa” sebenarnya ketika Anda tidak memperkenalkan diri Anda. Saya hanya bisa menduga-duga, dan sekiranya mungkin dapat mengenal siapa Anda sebenarnya, sampai Anda mengungkapkan identitas Anda sebenarnya.

Sampai Anda mengungkapkan “siapa” diri Anda sebenarnya, maka sebenarnya gambaran tentang Anda hanya terbatas abstraksi saya, reka-reka saya, saya bisa menambahi dan mengurangi nya sesuai dengan preferensi diri saya. Abstraksi saya tentag Anda itu bukanlah siapa diri Anda sebenarnya, tetapi ketika Anda menyatakan diri kepada saya, maka saya mengenal siapa Anda sebenarnya.

Jikalau Allah, yang nama Nya Agung dan Luhur adalah sebuah abstraksi dari saya manusia yang terbatas ini, maka saya akan mengalami jalan buntu di dalam mengenal Dia sebagaimana Dia seharusnya dikenal.

Sebagai pengikut Yesus Kristus, saya sungguh bersyukur, karena Allah yang saya kenal adalah Allah yang menyatakan dirinya, “Aku adalah Aku (YHWH/ G-D)”.Ya, Dia memperkenalkan diriNya kepada umatnya. (Bangsa Yahudi sangat tabu menyebut nama Yahweh, sehingga untuk menyebutnya pun dengan disingkat YHWH; bahkan untuk menyebutnya pun dengan berbisik-bisik, karena nama itu sungguh suci dan mulia. Sehingga banyak kata ganti untuk menyebut nama itu).

Bahkan dia juga memperkenalkan, dan mengikatkan diri pada para kekasih hatinya,sehingga Dia pun menyebut dirinya adalah “Allahnya Abraham, Allahnya Ishak, Allahnya Yakub, Allahnya orang-orang beriman”. DIA lah Allah orang-orang yang hidup, bukan orang yang mati. Di dalam ikatan nama-nama tersebut, siapa DIA ingin menyatakan diri Nya supaya dikenal. Di dalam iman, kita terhisap di dalam relasi Nya.

Sepanjang peradaban orang-orang mencari siapa Allah, tetapi dengan caranya yang ajaib Dia menyatakan diri dalam pergumulan hidup umat manusia untuk menyatakan rahmatnya. Mata Tuhan menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatanNya kepada yang bersungguh hati mencari Dia. “Gusti mboten sare”, Allah tidak tidur, tetapi Allah bekerja untuk mnyatakan kasih setia dan rahmatnya kepada yang bersungguh hati mencari Dia.

Tetapi yang sangat pasti ada kerinduan yang laten di dalam batin manusia terhadap Allah yang kekal, apakah menyadari atau tidak menyadari, menolak atau menerima kerinduan tersebut. Seperti Raja Sulaiman ungkapkan didalam kitab Pengkotbah, “IA memberikan kekekalan di dalam hati mereka”. Kerinduan akan Allah yang sejati dan kekal itu yang menggema di dalam batin setiap manusia. Kerinduan yang hanya dipuaslelaskan ketika Sang Misteri itu menyatakan diriNya, di dalam hidup kita.

*

Akhirnya memang Nama + Cinta yang merupakan misteri itu telah dan sedang dipaparkan kepada kita dengan sepenuhnya.

Yohanes, sahabat Yesus Kristus mengungkapkan, Allah adalah kasih (cinta). Melalui cinta Nya yang agung, Nama Nya yang misteri telah dinyatakan kepada manusia, di dalam Yesus Kristus, Sang Kalam telah menjadi manusia, supaya manusia mengenal Allah. Namanya mengandung cinta dan kebenaran yang sempurna, karena Dia penuh dengan anugrah dan kebenaran.

Di dalam cinta yang sejati lahir kegentaran yang kudus. Di dalam naungan cinta yang ilahi, kita berlutut dan tersungkur serta menaikkan puji dan sembah kepada Allah. Di dalam naungan cinta, kita diberi keberanian untuk menghadap tahta Allah yang penuh dengan anugrah dan kebenaran, mengatasi segala kegentaran kita. Ketika Nama yang kudus dan Cinta yang kudus itu bersatu padu hadir di dalam kehidupan kita maka kita layak merayakan sukacita misteri cinta yang lestari.

Itulah karya INJIL yang sejati, sukacita yang lahir karena pengenalan akan Allah.

Betapa tidak terbatasnya bahasa cinta diungkapkan.

Salam
Teja, 8/8/2019

Teja adalah suami dari Titin, ayah dari Kasih dan Anugrah.

Image by Tegula from Pixabay

Renungan Lainnya :

Comments

comments