102. ‘Aduh … Cinta’

Viewed : 373 views

Sahabat! Satu tahun telah pergi. Sahabat tak usah tangisi. Itu tak akan kembali. Tahun yang baru telah timbul di pelangi. Sejatinya, hidup ini berwarna-warni, bergulir bak roda pedati. Sahabat yang satu pergi untuk selamanya ke dunia abadi. Duka nestapa menyertai. Teman yang lain sakit tak terobati, mengiris-iris hati. Di bawah matahari, tak ada yang abadi. Tak ada yang lestari. Kulihat manusia berlomba untuk berlari, mengejar bayang yang tak pasti. Kendati berupaya menghindari, semuanya akan mati! Lihat, kata Pengkhotbah, ini yang kusadari, yang dicari tak kudapati. Hidup sia-sia bak sepiring nasi basi. (Pengkhotbah 7)

Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja. (Lukas 18: 19b).

Sudah kodratnya, sudah dari sononya, Allah itu baik. Allah baik dalam arti yang sebenar-benarnya. Tak ada niat lain dalam hati-Nya kala Dia merancang kehadiran Sahabat di abad ini kecuali untuk kepuasan hidup Sahabat. Mata tajam sekaliber Penghulu Malaikat sekalipun tidak akan menemukan motivasi lain dalam diri Allah. Allah itu semata-mata baik. Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. (1 Yohanes 1: 5b).

Kebaikan itu muncul dari cinta-Nya yang membara kepada Sahabat. Bukankah seharusnya kebaikan dan kemahakuasaan-Nya dapat dengan mudah mewujudkan cinta-Nya kepada Sahabat? Itu lebih dari cukup untuk segera mengakhiri duka nestapa tak terperi. Tak perlu waktu lama bagi-Nya untuk mengembalikan rancangan-Nya semula yang abadi?

Namun, aaahhh, bagaimanakah dapat mengerti cinta-Nya? Sang Cinta memasuki dunia tanpa tanda-tanda kebesaran, apalagi pengawal sekelas pasukan pengawal presiden. Seharusnya para tokoh dunia berduyun-duyun menyambut-Nya. Sayang, yang Sahabat temui hanyalah domba dan keledai tanpa ekspresi. Layaknya, cahaya malaikat bersinar 24 jam di sekitar-Nya. Akan tetapi, masyaallah, hanya lalat beterbangan dari kotoran hewan yang Sahabat jumpai.

Cinta, aduh … cinta.

Kun fayakun, jadi maka jadilah! Sang Pencipta cukup hanya mengucapkan sepatah kata, maka semua jadi! Langit, bumi, dan alam semesta, jadi hanya dengan kun fayakun. Dengan tongkat, Musa membelah laut Teberau. Dengan suara kidung pujian, umat merobohkan tembok Yeriko yang kukuh. Namun, aaahhh, Sang Cinta menggantungkan hidup-Nya kepada remaja belia. Rasa sakit bersalin jadi bagian dari tanda-tanda kedatangan-Nya. Anak Allah yang Maha Tinggi rela dibesarkan dan bergantung kepada air susu anak dara. Adakah hal lain yang lebih membingungkan?

Cinta, aduh … cinta.

Kun fayakun, Sang Firman, membatasi diri menjadi bayi! Untuk kata ma ma sekalipun, Dia harus belajar dari dini. Firman yang penuh kuasa menjadi bunyi yang tak berarti. Bagaimana mungkin ini bisa dimengerti?

Cinta, aduh … cinta.

Sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

-2 Korintus 12: 9

Kebesaran-Nya terlihat dari kesediaan-Nya melepaskan hak “kemahaan”-Nya. Kuasa ilahi tak mengalir melalui keperkasaan, melainkan melalui kelemahan. Kesetiaan-Nya tampak bukan lewat kesuksesan, tetapi melalui kegagalan. Kebaikan-Nya nyata tidak pada hidup yang berhasil, tetapi dalam penderitaan.

Jangan pergi jauh mencari, Dia ada di kandang biri-biri. Sang Cinta tidak Sahabat temui di rumah pesta. Dia ada di rumah duka! Enggan di istana, Dia senang bersama kaum duafa. Temuilah mereka yang berduka, maka Sahabat akan jumpa dengan Sang Cinta. Maaf, sejatinya saya betah di istana! Moga Sahabat tidak (nsm).

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM

Photo by Tyler Nix on Unsplash

Renungan Lainnya :

Comments

comments