Segala sesuatu ada awalnya, tidak ada yang begitu saja ada. Begitu juga dengan kebiasaan, itu secara perlahan-lahan menjadi bagian dari kebudayaan. Kemudian, itu diteruskan turun temurun dari satu angkatan ke angkatan selanjutnya hingga menjadi suatu norma kehidupan. Pedoman hidup yang diterima sebagai ukuran etika.
Bisa jadi setelah sekian lama, tidak lagi disadari kebiasaan itu datangnya dari mana. Tidak ada lagi yang berani bertanya, karena itu akan dianggap meragukan keabsahannya. Bahkan di ujung sana, itu menjadi acuan bagaimana menilai prilaku sesama.
Elok tidaknya tingkah laku, dilihat dari sejauhmana itu selaras dengan pedoman baku. Jika seturut dengan kebiasaan saat itu, maka beretikalah dikau. Namun kalau daku menari dengan langgam baru, itu dapat dianggap tabu. Mengapa? Karena nada dan irama itu terasa asing di telinga.
Kebiasaan, ritual suci, ataupun liturgi juga demikian, itu sudah diterima sebagai kebenaran. Asal usulnya sudah amat sangat jarang dibicarakan. Jema’at tinggal ikut aturan. Bukankah kaidahnya dari dulu memang sudah demikian? Melanggar aturan disamakan dengan tidak taat kepada perintah Tuhan.
Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. (Kisah Para Rasul 2:46)
Sudah sejak lebih dari 1 milenium sebelum Masehi, jika umat Allah hendak beribadah ya tentulah itu dilakukan di Bait Allah. Kebiasaan ataupun perintah Tuhan ini dengan setia dihidupi jema’at dari generasi ke genarasi. Mungkin jika ada slogan kala itu, akan berbunyi: ‘Ibadah? Ya di Bait Suci!’
Tidak dapat dibayangkan, apakah ada tempat yang lebih afdol dalam menyembah Ilahi? Betapa bersalah rasanya hati ini, jika gagal sujud sembah di Bait Suci. Bait Allah sudah menyatu dengan sanubari, tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan liturgi. Itu bagian dari iman, sulitlah dipisahkan.
Umat Tuhan di abad pertama pun juga melakukan ritual yang demikian. Sebagai keturunan Yahudi yang sebagian datang dari perantaun, karena iman mereka berbondong-bondong datang ke Yerusalem. Hingga rasul Petrus berseru, bertobatlah 3 ribu orang. Dan mereka melanjutkan kebiasaan untuk bertemu, berkumpul di Bait Allah yang bangunannya bak tugu.
Kebiasaan umat percaya terus berlangsung seperti itu, Bait Allah dengan jiwa telah menyatu. Kebiasaan sejak era raja Salomo terus bertahan bahkan hingga abad ke 21. Bukan saja itu, bahkan semua agama juga begitu. Tempai ibadah memang begitu sakral sejak dahulu.
Pada waktu itu mulailah penganiayaan yang hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Mereka semua, kecuali rasul-rasul, tersebar ke seluruh daerah Yudea dan Samaria. (Kisah Para Rasul 8:1)
Bisa jadi hanya dalam bilangan tahun, umat percaya harus melepaskan kebiasaan puluhan abad berada diseputar Bait Allah. Kocar kacir melarikan diri dari gelombang aniaya tokoh agama yang sedang marah. Selama lebih 300 tahun, jema’at tidak mengenal tempat sakral untuk berkumpul. Dan kebiasaan ini diwariskan turun temurun.
Akhirnya setelah sekitar 1700 tahun, kejadian serupa berulang kembali. Jema’at dilarang berkumpul, kebiasaan ibadah minggu dilarang. Hampir 2 tahun ini, jema’at seakan-akan diajari untuk tidak pergi beribadah. Kebisaaan belasan abad begitu saja disapuh bersih sang wabah. Sejarah kembali terulang.
Mungkinkah si Corona tengah membawa tanda-tanda zaman? Pesan yang tersembunyi dalam penderitaan. Layaknya jema’at mula-mula lepas dari bangunan karena aniaya yang tak tertahankan, begitu jugakah daku dan dikau dalam ancaman virus yang tidak kelihatan?
Saatnya daku dan juga mungkin dikau mulai memikir ulang semua kebiasaan. Apakah itu hiasan ataukah bagian inti dari iman? Semoga sebelum si Corona pamitan, daku dan dikau peka memisahkan. Manakah kebiasaan dan manakah perintah Tuhan? (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes. Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM |
Photo by Thomas Vitali on Unsplash



