Di bulan-bulan pandemi, itu masa-masa gamang bagi kebiasaan kehidupan rohani. Ritual yang begitu suci, dipelihara dari generasi ke generasi, sekarang satu demi satu telah pergi. Ibadah sakral setiap hari Minggu pagi, ritual perjamuan kudus yang hanya sekali-sekali, semua sudah berganti, tidak ada yang sama lagi.
Semua pedoman baku beribadah telah berubah. Siapa sangka fondasi ritual yang begitu ajek langgeng belasan abad layu dilibas wabah. Ini pertama kali dalam peradaban modern, ritual ibadah tergantung kepada pilihan diri sendiri. Bak daftar hidangan, menu, sila pilih yang berkenan di kalbu. Dan keadaan ini membuat daku ragu-ragu, berkenankah DIA dengan yang ini ataukah yang itu?
Tiba-tiba jiwa peka, nurani mulai perasa. Dulu-dulu tidak terbayang, sekarang? Seakan-akan dipaksa untuk bertanya. Hati sadar seketika, dan mulailah mencari data. Ibadah dengan cara yang manakah yang berkenan di hadirat-NYA? Tanya kiri kanan, namun semua angkat bahu, serentak menjawab: ‘Aku tidak tahu!’
Selama sekitar 17 abad, waktu yang tidak singkat, kehidupan spiritual jema’at diatur oleh kebiasaan. Ritual baku yang diwariskan turun temurun, membentuk pola ibadah dari tahun ke tahun. Tradisi menjelma sebagai pedoman yang mendekte daku dan dikau bagaimana seharusnya menyembah TUHAN.
Berjalannya waktu, kebiasaan ritual berkembang seiring munculnya aneka ragam irama lagu. Kidung pujian turut mendekorasi keindahan budaya kebaktian. Tatak letak lampu, sound system, dan gaya arsitektur bangunan menghiasi semaraknya kemajuan tradisi kebiasaan.
Sudah kodrat agamawi, aturan tradisi akan bertambah dari hari ke hari. Jika dikau dapat mengikuti, setiap aturan dipenuhi, maka dikau dianggap naik tingkat secara rohani. Tingkat pertumbuhan rohani, itu diukur seberapa banyak anak tangga daku mampu lalui.
Dan sebaliknya! Daku dianggap tidak mengasihi DIA, jika gagal setia mengikuti acara-acara. Apalagi jika dikau tidak bertalenta, tidak juga fasih bicara, begitupun jauh dari merdu suara. Karenanya jangan harap dapat tampil di muka, relalah tetap duduk saja sebagai jema’at biasa. Dikau termasuk golongan yang tidak memenuhi kriteria.
Keterampilan, kesetiaan mengikuti kegiatan, dan segudang kebiasaan lain telah menjadi acuan suci dalam menilai iman seseorang. Jika acap lalai mengikuti kebaktian, apalagi sering bolos ikut diskusi Firman Tuhan, itu dianggap belum pantas dalam melayani Tuhan. Namun, kalau sudah sering tampil di depan, itu tanda-tanda dikau mengabdi kepada Tuhan. Jabatan, status, sebagai tanda kesungguhan dalam beriman.
Hingga datangnya si Virus yang tiba-tiba bak badai mengamuk! Layaknya cambuk, umat Tuhan digebuk, untuk sadarkan rohani yang selama ini terngantuk-ngantuk. Semua standar dan kebiasaan sebagai ukuran iman, satu persatu dijungkirbalikkan, sirna satu demi satu dari permukaan. Bak burung terlepas dari sangkar, jema’at dipaksa bebas dari kebiasaan untuk kembali lagi mulai dari dasar.
“But if you just use my words in Bible studies and don’t work them into your life, you are like a stupid carpenter who built his house on the sandy beach. When a storm rolled in and the waves came up, it collapsed like a house of cards.” (Matius 7:26-27, M)
Daku bodoh, dikau juga mungkin ceroboh, bersusah-susah mendirikan bangunan standard ukuran iman di atas pasir yang begitu mudah roboh. Bukankah semua anggapan selama ini runtuh, ibarat rumah-rumahan dari kartu, a house of cards, satu persatu tumbang dilibas si virus, sang tokoh?
Tinggalkan romantisme masa lalu, ayo melangkah maju. Sambut masa depan, era penuh ketidakpastian. Masa depan yang dituju, bangunlah rumah di atas batu. Maka akan muncul kebiasaan baru, yang takkan lekang oleh waktu! Yang begini baru jitu nan bermutu. (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.
Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM |




