280. Tradition

Viewed : 1,327 views

Walau tidak nyaman, namun generasi yang hidup di era pandemi termasuk generasi yang langka dalam peradaban. Suatu kehormatan melihat segala sesuatu mengalami perubahan. Umat bertanya-tanya, dikemanakan kebiasaan yang telah demikian lama. Begitu lamanya, sehingga jema’at tidak tahu lagi tradisi itu berasal dari mana.

Selama ini, tradisi beribadah sudah jamak diikuti tanpa ada yang begitu peduli sehingga berani membantah. Jema’at ikut saja apa yang dikatan kelompok elite roahani. Kebiasaan itu telah berlangsung dari generasi ke generasi. Itu dipelihara dengan teliti, diikuti dengan senang hati. Olehnya, jema’at merasa sudah berbakti kepada Sang Ilahi.

Demikianlah, tradisi diwariskan turun temurun berkesinambungan tak henti-henti. Tak lekang oleh masa, bertahan seakan-akan untuk selama-lamanya. Dengan itu, umat ada pedoman dalam menjalankan ibadah. Jema’at menjadi tertib dalam melakukan prosesi ritual berbakti kepada Allah. Bukankah dengan demikian, hati menjadi khsusuk dalam menyembah? Dan iman umat akhirnya berkembang serta bertambah-tambah.

Tradition is the living faith of the dead; ( Jaroslav Pelikan)

Jika ditelusuri dalam perjalanan waktu, sudah kabur bahkan tidak ada lagi yang tahu. Mengapakah ritual menyembah ilahi harus seperti itu? Dari mana urutan ritual dalam setiap kebaktian hari Minggu? Mungkinkah dahulu, ada para pahlawan iman yang memulai berdoa dengan cara begitu? Ataukah kesepakatan elite rohanilah yang menetapakan pola ritual ibadah?

Bilamanakah kebiasaan umat melakukan prosesi menyembah di tempat ibadah? Mendengarkan penjelasan panjang lebar uraian Firman Tuhan dari pengkhotbah? Kemudian, jema’at dengan sukarela menyisihkan rejeki sebagai persembahan dan itu dianggap sebagai pemberian kepada Allah.

Yang pasti, kebiasaan itu telah terbukti. Tradisi dari kebiasaan tempo dulu, ternyata berguna sebagai pedoman umat hingga kini. Prosesi ritual dan kebiasaan ibadah di hari Minggu turut mengingatkan, paling tidak sekali seminggu, jema’at untuk menyisihkan waktu untuk kebaktian.

Berjalannya tradisi dari generasi ke generasi, pelan-pelan kebiasaan tersebut mengalami kristalisasi. Tidak tahu pasti, namun itu akhirnya menjadi patokan dalam menghampiri Sang Ilahi. Pedoman yang sebelumnya umat dengan itu merasa diberkati, sekarang telah berubah menjadi pengatur tingkah laku umat dalam berbakti. Cepat ataupun lambat, akhirnya di ujung waktu tradisi berubah menjadi pedoman baku, kaku bak besi.

Kami sudah mendengar ia [Stefanus] berkata, bahwa Yesus dari Nazaret itu akan meruntuhkan Rumah Tuhan ini, lalu mengubah semua adat istiadat yang diturunkan Musa kepada kita!” (Kisah Para Rasul 6: 14)

Menyesuaikan kebiasaan dengan tuntutan zaman, apalagi adat istiadat dalam kerohanian, itu dianggap sama dengan melawan Tuhan. Lebih-lebih lagi, jika tradisi itu dikaitkan dengan pahlawan iman. Di abad-abad pertama kala itu, tradisi nenek moyang di era Musa telah berubah menjadi aturan dingin kaku. Itu tidak boleh diganggu, terlebih lagi kalau ada yang berani bertanya mengapa begitu.

Stefanus merasakan akibatnya, nyawa menjadi taruhannya. Tradisi ribuan tahun telah dianggap sebagai suatu kebenaran, dan jangan coba-coba untuk dipermaikan. Usah bertanya, apakah kebiasaan itu masih memenuhi kebutuhan umat percaya. Jema’atlah yang harus berusaha menyesuaikan.

Bukankah suatu kehormatan? Di era pandemi yang menyesakan, daku dan dikau dapat menyaksikan, kala kebiasaan turun temurun dijungkirbalikan. Di depan mata, dapat merasakan kala prosesi ritual ditiadakan. Fungsi gendung ibadah juga disingkirkan.

Dan sekarang, keputusan itu ada di tangan setiap insan. Setiap generasi haruslah menemukan sendiri tradisi dalam menyembah Tuhan. Bisa jadi, penyesuaian kali ini, setiap individu akan beribadah secara unik sendiri-sendiri. Sila tentukan yang pas di hati. Siapa tahu, itulah yang DIA kehendaki! Seturut perubahan tradisi di era pandemi. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM

Photo by Saint John’s Seminary on Unsplash

Comments

comments