114. ’Cinta Itu Menyatukan’

Viewed : 816 views

Awan cumulunimbus rajin hadir di langit Jakarta beberapa hari belakangan ini. Kadang terasa mencekam, kala petir sahut menyahut. Mentari terasa seperti malu² sembunyi di antara awan kelabu. Butiran air berjatuhan membasahi jemuran. Tepat seperti diprakirakan para cerdik pandai cuaca, demikianlah siklus musim berlalu. Pergerakan bumi dan bulan mengelilingi matahari yang mengendalikan musim² di bumi sudah maklum diketahui bahkan oleh anak² SD zaman now. Bagi mereka zaman old, suara gemuruh guntur dan ‘hilangnya’ surya di kaki langit adalah suatu keajaiban alam, sekarang?

Siapa yang tak kenal Stephen Hawking yang baru wafat? Astrofisikawan tak ada duanya dalam abad ini yang mencoba menjelaskan asal muasal alam semesta. Walau lumpuh dan tak bisa bicara, namun otaknya dapat melalang buana bebas tak terbatas. Berbagai penghormatan, pengharagaan, dan pujian disampaikan atas temuannya. Bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya adalah pendapatnya yang paling kontroversial. Intinya, keberadaan Tuhan tak diperlukan. Dan tak sedikit ilmuawan sealiran dengan ide ini. Memang, pengetahuan bahkan agama sekalipun cenderung memecah belah sesama.

Namun..? Tunggu dulu! Pekerjaan pertama yang ALLAH perintahkan kepada Adam adalah memberi nama! Yes, memberi nama! Pekerjaan yang cukup sederhana yang rasanya tidak membutuhkan kemampuan secemerlang Enstein.

Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, (Kej 2:20)

Apalah arti sebuah nama? Oops, pemberian nama bagi bayi yang baru lahir di adat Batak (mungkin juga di suku lainnya) adalah momen penuh makna. Zaman old dulu, ke dua orang tua bayi akan datang dan minta dengan penuh hormat kepada paman untuk memberi nama bayi tsb. Ooo, ini bukan paman sembarang paman. Ini paman spesial, paman dari sudara laki² dari si ibu. Dalam nama terkandung harapan, cita² luhur seperti apa si anak kelak di kemudian hari. Dalam pemberian nama tersebut terkandung penghargaan sekaligus relasi serta asal usul ikatan keluarga. Sudah lazim jika orang Batak bersua bertanya tentang nama keluarga (marga) sehingga akhirnya didapat silsilah ikatan persaudaraan.

Mungkin telah ber-minggu² ataupun sewindu terlewatkan, akhirnya semua hewan sudah ada julukan. Setiap kali ada sepasang berjalan di depannya, dia secara insting memberi nama. Mungkinkah pada waktu belum dikenal kosakata ‘dosa’, antara panca indra, logika, dan intiusi bersatu padu? Roh, jiwa, dan raga dalam relasi yang harmonis. Dikau akan kagum menyaksikan Adam sibuk memberi nama sambil bersenandung ria. Kagummu akan mengila ketika dikau mendekatinya, ternyata kidung itu walaupun lantunannya ceria ternyata itu nyayian rindu, jeritan hati yang memelas.

Lalu berkatalah manusia itu [Adam]: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kej 2:23)

Wow wow wow, inilah kulminasi deretan pemberian nama tiada akhir tersebut. Apakah arti sebuah nama? Bagi Adam nama merupakan pertanda ikatan, hubungan, dan terutama menyatukan dua hati yang rindu. Kesatuan ‘tulang’ dan ‘daging’ artinya jiwa, raga, dan roh dari ke dua insan melebur jadi tunggal tak terpisahkan. Maka mereka bukan lagi ‘dua’ tapi ‘satu’ (Kej 2:24). Yang satu ‘terjepit’, yang lain rasa ‘sakit.’ Yang lain ‘ria’, yang satu ‘gembira.’ Itulah aroma asmara yang menari di antara dedaunan di taman Eden. Bagaimanapun, bagi lelaki, nama ‘perempuan’ menyimpan makna hakiki nan abadi. Seperti di taman itu, begitupun sekarang –sejatinya- CINTA memang menyatukan, selalu! Selamat menyambut Paskah n happy long weekend. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.

Renungan Lainnya :

Comments

comments