Semua kejadian di bawah matahari akan juga ada hari akhirnya. Wabah pun ada hari kadaluarsanya. Walau awal-awalnya belum diketahui bagaimana terjadinya, namun di ujung sana sudah mulai kelihatan garis akhir. Walau itu masih samar-samar, namun rasanya pandemi segera akan pudar.
Rutinitas kehidupan kembali seperti semula, perekonomian berputar seperti sediakala. Sekolah-sekolah dibuka, pelajar kembali diijinkan tatap muka. Pusat-pusat darmawisita penuh dengan pelancong, ruang pertunjukan pun mulai dipenuhi penonton.
Kalau beberapa bulan lalu, jika dikau buat janji temu dokter, jangan terkejut kalau dia terlihat bak monster. Mulut tertutup rapat dengan masker, wajah tak tampak karena ditutupi dengan pelindung mata. Begitu kaku komunikasi pasien dengan dokter. Hari-hari ini semua sudah berbeda, walau masih terasa was-was, namun rasanya suasana jauh lebih waras.
Perasaan lega mulai terlihat di mana-mana, nada optimis dapat dibaca dari media berita. Akankah akhirnya peradaban di masa ini terlepas dari si Corona? Pengalaman hampir 2 tahun yang begitu menderita, akhirnya bak mimpi buruk akan juga sirna.
Dunia bisnis, begitu cepat dapat menyesuaikan diri dengan situasi kritis. Sehingga dapat bertahan dalam ketidakpastian, bahkan inovasi-inovasi baru bermunculan. Hal-hal baru ditemukan, perkara-perkara anyar yang tak terpikirkan jika tidak ada era kebingungan. Hadirlah model usaha versi di era si Corona.
Bisnis yang gagal beradaptasi dengan situasi terkini, dipastikan tersingkir ke tepi. Walau itu dulu dipuji-puji, para pekerja berduyun-duyun melamar antri, namun di era si virus ternyata itu tidak lolos uji. Tidak dapat lagi diandalkan keberhasilan masa lalu, kalau tidak ingin dilibas waktu.
Bagaimana dengan di bidang kerohanian, apakah hal yang sama melanda jema’at Tuhan? Ataukah akan bermunculan pengertian baru dalam menyembah Tuhan? Pemahaman yang tidak akan muncul jikalau tidak ada si virus yang tidak kelihatan.
Model-model penyembahan yang begitu meriah nan gegap gempita, umat berduyun-duyun hadir dengan sukacita. Pujian dilantunkan, musik iringi tepuk tangan. Emosi larut tak karuan, terasa lega di tengah-tengah kesulitan keuangan. Gedung-gedung pertunjukan, disulap menjadi tempat kebaktian.
Pengkhobah berapi-api menyampaikan berita dari mimbar, sesekali dia bernyanyi diiringi petikan gitar. Semua kagum, semua senang, jema’at merasa dilawat Tuhan. Selesai kebaktian, giliran antri berjabat tangan dengan hamba Tuhan. Bermunculanlah figur-figur ternama, pengkhotbah terdepan yang digadang-gadang.
Itu sekarang dilibas habis tak berbekas oleh si Corona. Hampir 2 tahun terakhir tidak lagi ada berita, tokoh-tokoh terkenal seakan-akan telah tiada. Mereka tidak lagi tahu berada di mana. Kebaktian-kebaktian dihentikan, jema’at maupun pengkhotbah ternama semua telah menjadi umat biasa.
Akankah euforia redanya si Corona begitu saja mengembalikan umat Tuhan kepada romantisme masa lalu? Pengalaman duka dan air mata nan pilu, begitu sajakah nestapa selama hampir 2 tahun akan berlalu? Tidakkah ada pelajaran yang dapat merubah kalbu?
Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya. (Yakobus 1:24)
Si virus baru saja menyadarkan daku akan isi hati, siapa diriku yang sejati. Memisahkan mana yang ragam rupa aksesoris dari yang substansi. Seiring ancaman dari pandemi, muncullah tekad dalam hati. Keluarlah kata-kata seribu janji. Hasrat hati untuk lebih berbagi, sebagai ekspresi cinta kepada Sang Ilahi.
Ended at start, baru saja mulai sudah terhenti. Meredanya pandemi, ikrar pun pelan-pelan sirna dari sanubari. Bagaimana mungkin pengalaman yang begitu mengiris hati, sekarang sudah tidak diingat lagi. Seakan-akan itu hanya mimpi, tidak ada pengaruh sama sekali.
Pengalaman pandemi, mungkin dalam sejarah hidup daku dan dikau tidak akan terulang ke dua kali. Cukuplah sekali, dan biarlah itu merubah cara pandang kehidupan dengan sangat berarti. Dengan demikian, ke depan hidup keimanan akan jauh berbeda. Semoga! (nsm).
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.
Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM |
Photo by James Barr on Unsplash




