Berdiri terpesona di bibir pantai, pasir putih bersih menyelimuti permukaan yang landai. Sudah cukup lama tidak menikmati suasana santai, lepaslah sejenak perasaan terancam dari si Corona yang terus mengintai.
Sejauh mata memandang, nan jauh yang nampak hanya laut biru luas terbentang. Satu dua perahu nelayan dengan layar terkembang, samar-samar itu terlihat bergoyang-goyang. Sorotan sinar mentari sebagai penerang, begitu indah bak lukisan perahu dengan kaki langit sebagai latar belakang.
Anak-anak berlari-lari kian kemari, suara ria cekikikan terdengar sahut menyahut tak henti-henti. Mereka berlomba-lomba mendirikan rumah-rumahan dari pasir, namun belum lama berselang, semua disapu rata oleh gelombang. Mereka tertawa, tidak kecewa, mereka kembali berlomba. Mendirikan rumah-rumahan, walau sekejab ada, mereka bangga.
Gelombang laut menghempas pantai bertalu-talu, sejak dari dahulu, tanpa lelah polanya selalu seperi itu. Ombak yang satu datang, yang lain sabar menunggu dari belakang. Tidak ada yang kesal apalagi bebal. Semua sesuai dengan giliran, patuh mengikuti gaya tarik bulan.
Bak gelombang kehidupan, yang menghempas rumah-rumahan, daku dan dikau pas pula hidup kala riak si virus lagi gila-gilan. Kiri kanan terdengar teriakan duka cita yang tak berkesudahan, karena yang dikasihi telah pergi duluan.
Bagaimana mungkin pengalaman ini terlupakan, bulan-bulan pahit akan tercatat dalam sejarah kehidupan. Perasaan terancam yang mencekam, apalagi jikau dikau termasuk kelompok lansia yang dikatagorikan rentan. Ini peristiwa yang membekas bukan hanya secara emosi namun juga iman.
Ataukah masa-masa kesakitan itu bak gelombang, riak suka duka silih berganti akan datang? Kala bangunan rumah-rumahan telah diruntuhkan, ramai-ramai lagi didirikan. Hingga, akhirnya masa-masa kepahitan itu juga akan terabaikan. Sehingga pengaruhnya dalam kehidupan tidak signifikan.
Bukankah begitu sejarah kehidupan dari sejak dahulu? Peristiwa pilu, juga akan ditutupi dengan pengalaman yang baru. Daku dan dikau selalu perlu diingatkan, agar dapat belajar dari pengalaman yang tidak mengenakkan.
Ingatkah kamu bagaimana TUHAN membawa kamu melalui padang gurun selama empat puluh tahun itu? Ia merendahkan hatimu, dan menguji kamu untuk mengetahui sikap hatimu, apakah kamu akan benar-benar menaati Dia atau tidak. (Ulangan 8:2 FAYH)
Bisa jadi, setelah beberapa waktu pandemi terhenti, dikau dan daku perlu diingatkan lagi. Kala puncak gelombang ke 2 si Corona, betapa tidak berdayanya manusia. Hanya sekadar untuk menolong kekasih bernapas saja, semua rela berbuat tindakan-tindakan gila. Rumah sakit penuh, harapan runtuh!
Dalam keadaan yang merana, galau nan putus asa, barulah tahu apa yang ada di dalam dada. Apakah itu sebabnya dikau dan daku mengalami si virus yang senantiasa mengancam nyawa? Tidak tahu berapa lama, akankah wabah berlama-lama atau sebentar juga akan sirna?
Mungkinkah durasi era ketidakpastian ini akan bergantung hingga daku dan dikau tahu apa yang tersembunyi di balik raut muka? Tabir tebal yang selama ini menutup rapat kalbu tersingkap semua! Begitu bebalnyakah hati sehingga harus berputar-putar selama 40 tahun lamanya?
Era pandemi, peristiwa yang menyayat sejarah nurani setiap pribadi. Luka dalam yang tak mungkin hilang dari ingatan. Kenangan yang membongkar kedok hati setiap insan. Insiden dalam hidup setiap orang, itu bak utang sejarah yang akan terus ditagih sebagai peringatan.
Betapa liciknya hati, hati sudah membatu sehingga diperlukan sekaliber pandemi, untuk menyingkirkan topeng sekeras besi. Itu terjadi, sekadar untuk tahu isi hati. Baru mengerti, siapa daku hingga ke inti.
Hidup bagai gelombang, silih berganti alami peristiwa yang tidak diundang. Utang sejarah, peringatan melalui wabah. Perioda pandemi, ombak penyapu hati nurani. Apakah di hadapan-NYA, hati yang murni jauh lebih berharga dari pada capaian rohani? (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes. Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM |
Photo by Zany Jadraque on Unsplash



