Berdecak heran sambil geleng-geleng kepala, tak percaya apa yang ada di depan mata, ternyata semacam ini ada. Sejak dulu hingga kini, seperti ini belum pernah dialami, baru inilah pertama kali. Sungguh ini bak mimpi di siang hari, ini benar-banar terjadi.
Bagaimanakah mungkin acara sedemikian suci, peristiwa sakral yang hanya sekali, berlangsung begitu sepi? Tidak ada paduan suara, jauh dari gegap gempita, acara begitu sederhana. Itu layaknya aku sendiri yang menghadiri, begitu sunyi.
Pandemi telah merubah segala-galanya, kebiasaan sakral pun tidak lagi sama. Liturgi panjang dijadikan singkat. Biasanya dirayakan dengan semarak, sekarang seolah-olah semua dihemat. Lumrah jika akan hadir tetangga, handaitolan, dan sahabat, kini hanya keluarga terdekat. Khotbah pendeta pun ikut-ikutan dipercepat.
Hidup tidak mungkin tanpa berbagai bentuk kebiasaan. Adat istiadat sudah menjadi bagian etika dalam pergaulan. Setiap suku maupun tempat, ada aturan yang tidak tercatat, namun diikuti dengan taat. Kurang elok jika dikau ataupun daku diberi predikat tidak beradat.
Begitu juga dengan jema’at dalam beribadat. Ada kebiasaan berupa ritual yang dipegang erat-erat. Itu aturan yang diikuti dengan taat, sebagai tanda bahwa daku dan dikau telah dianggap berbakti. Jika ada yang tidak mengikuti, maka dianggap cacat dalam beribadat, yang lebih parah kalau dicap sudah sesat.
Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” (Markus 7:5)
Murid-murid mendapatkan cap itu, kala mereka tertangkap basah melanggar aturan sakral sejak dahulu. Entah bagaimana, namun ritual telah menjadi pedoman utama bagi jema’at untuk berkenan di hadirat-NYA. Adat istiadat telah menjadi patokan najis tidaknya jema’at di hadapan Tuhan.
Mungkinkah wabah mengingatkan kembali daku dan dikau bahwa adat kebiasaan tidaklah tetap? Ritual suci pun tidaklah keramat, itu dapat berubah mengikuti pola ‘sebab-akibat’. Kalau 2000 tahun lalu murid-murid mendapat cap sesat, di erah wabah semua dipaksa melanggar adat!
Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, (Markus 7: 18-21)
Agama meributkan adat kebiasaan, apa yang boleh dimakan, hari-hari yang diistimewakan, maupun urut-urutan dalam menyembah Tuhan. Itu semua menyangkut perkara-perkara yang di permukaan. Kesempurnaan mengikuti aturan-aturan, itu dianggap menentukan kebersihan hati. Ketaatan kepada adat kebiasaan, itulah yang menguduskan nurani.
Namun, DIA tidak tertarik dengan yang di permukaan, SANG JALAN hanya terkesan dengan apa yang ada di dalam. Inside out, jika yang di dalam bersih maka yang di permukaan juga akan ikut jernih. Hati nuranilah yang mewarnai tindakan. Kalau hati hening, hal-hal kebiasaan pun jadi bening. Jagalah hati dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan (Amsal 4:23).
Rasanya baru saja duduk, acara pernikahan kerabat telah sampai pada ‘doa penutup’. Ritual pemberkatan, rentetan acara yang dipadatkan. Tukar cincin, janji pernikahan, dan doa pemberkatan, tentu bukan itu yang menentukan. Itu hal-hal permukaan, barulah permulaan.
Ritual hanya berlangsung 1 jam, janji kesetiaan sebagai pasangan berlangsung siang malam. Isi khotbah mungkin sudah terlupakan, namun ikrar sebagai suami istri megikat di sepanjang kehidupan. ‘Selamat menempuh hidup baru kawan, moga senantiasa menikmati penyertaan Tuhan.’ (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes. Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM |




