295. Mengejar Kaki Langit

Viewed :

Terasa lega, rasanya macam lepas dari penjara. Setelah beberapa bulan dipaksa di rumah saja, kala si virus berubah muka dengan varian si Delta. Walau belum berlangsung lama, bersyukur beberapa minggu ini si Corona tidak lagi menggila. Semoga saja, walau masih harap-harap cemas, wabah tidak lagi mengganas.

Suasana jalan ramai lagi dengan kendaraan. Pasar-pasar rakyat kembali hiruk-pikuk dengan orang jualan. Sesama tetangga terlihat saling tegor sapa, seakan-akan sudah tahunan tidak jumpa. Layaknya setiap orang hendak melepas penat, setelah begitu lama diharuskan diam di tempat.

Tinggallah duka nan nestapa, terutama bagi daku dan dikau yang telah menjadi korban si Corona. Sulit rasanya bahwa ini nyata, seolah-olah semua terjadi begitu saja. Tanpa kebaktian dukacita, tiada salaman dari handaitolan sebagai ungkapan belasungkawa. Berlangsung begitu cepat, linangan air mata iringi kekasih ke tempat istirahat.

Dikau bisa saja ahli penyakit dalam ternama, pakar dalam memahami sebeluk beluk imunitas manusia. Dengan piawai dikau jelaskan apa itu badai sitokin yang bisa menimpa penderita. Badai yang telah merenggut begitu banyak nyawa. Semua penjelasanmu mengenai mekanisme tubuh manusia sungguh masuk logika.

Boleh juga dikau seorang epidemiologist yang sudah mendunia. Prilaku wabah dengan gamblang dapat dijelaskan. Akurat memperkirakan varian baru yang akan bermunculan dan gelombang amukannya yang menghadang di depan. Sigap memberikan arahan, apa-apa yang pemerintah dan masyarakat harus lakukan agar bencana dapat dihindarkan.

Namun, pembaca yang budiman! Sungguh sangat berlainan.

Antara dikau yang profesor dalam ilmu virus alias virologi. Terdepan dalam memahami seluk beluk pandemi, ahli dalam menguraikan fakta-fakta yang masih tersembunyi. Rahasia hukum alam di balik munculnya virus dapat dijelaskan dengan rinci. Bagimu alam terbuka, gamblang tidak perlu menduga-duga. Dikau termasuk level maestro di antara para pakar.

Dengan jika saja dikau yang terpapar.

Yang satu menyangkut uraian ilmiah seturut nalar. Sedangkan kalau terinfeksi, hati turut dibuatnya berdebar-debar. Sang profesor pun dapat berprilaku kayak anak Sekolah Dasar. Sepontan pertanyaan berhamburan ke luar.

Bagaimana kalau kadar imunitas tak cukup, pertahanan tubuh ambruk. Pertanyaan satu redup, yang lainnya sudah menumpuk. Terbayang jika badai sitokin menyerang, untuk apa semua capaian kalau akhirnya nyawa melayang.

Di malam nan sepi, kala dirawat di kamar tersendiri…

Aku melihat diriku mengejar kaki langit;
Terus menerus lari semakin melejit.
Hingga terdiam s’bab terpapar si Corona.
”Itu sia-sia, itu percuma,” kata aku.
”Kau tidak akan pernah sampai, itu tidak bisa digapai!”
”Kau dusta, kau berburuk sangka”, teriak diriku.
Dan diriku terus berlari mengejar cakrawala.

Daku terkejut, terbangun lalu duduk. Tiba-tiba perawat lengkap dengan APD sudah disampingku tertunduk. “Maaf profesor, kami tengah mengamat-amati indikator. Fungsi organ vital masih menunjukkan stabil di monitor.” Bergegas para perawat pergi, kembali lagi daku sendiri menghadapi teka-teki.

Baru sadar kalau tadi rupanya daku bermimpi. Rasa capek masih terasa, napas terenggah-enggah mengejar cakrawala. Mungkinkah si Corona mengingatkan daku bahwa semuanya akan ditinggal pergi? Mengejar prestasi tiada henti-henti, capaian itu tiada berujung, semakin dicapai semakin tidak sampai.

Begini sajakah hidup? Semua berakhir di ujung lorong yang diselumuti kabut. Bak mengejar kaki langit, berakhir dengan pahit.

Kesia-siaan atas kesia-siaan, kata Pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia. (Pengkhotbah 12:8)

Aku bergumam sendiri, berjanji dalam hati. Seandainya waktu dapat diputar kembali, tentu waktu-waktu itu akan lebih berarti. Si Corona turut merubah paradigma, jika saja sembuh dari si Corona, hidup si profesor tentu tidak akan lagi sama. (nsm).

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Comments

comments