292. Kacamata Baru

Viewed : 942 views

Sejarah tengah dicatat, sehat ataupun terpapar oleh si virus yang tak terlihat, tetap saja tiap-tiap orang ikut menuliskan alur kisah hingga tamat. Ini riwayat yang belum pernah terjadi, kala kehidupan porakporanda di masa pandemi. Luluh lantak semua keteraturan, remuk redam semua kenormalan. Ini era yang dulu-dulu dianggap sudah usang, dan yang baru tengah menjelang.

Tidak ada yang sama lagi, semua kebiasaan telah ditinggal pergi. Walau strategi bisnis itu dulu jitu, sekarang itu eranya telah berlalu, tidak laku. Untuk bertahan hidup, agar tidak pelan-pelan redup, ingat kejayaan masa lalu tidak lagi cukup. Itu tidak terkecuali, tak terelakkan juga menimpa perkara rohani.

Ini belum pernah dialami, dalam sejarah dikau tidak akan temui. Ada masa-masa, jema’at dilarang beribadah di gedung gereja. Jika perkara seperti ini terjadi sebelum munculnya si Corona, tentulah sudah terjadi huru hara, unjuk rasa akan melebar ke mana-mana. Bisa jadi semua penganut agama, rame-rame menentang pemerintah yang berkuasa.

Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku.” (Yohanes 2:17)

Sudah berabad-abad, umumnya jema’at anggap, gedung gerejalah tempat yang afdol untuk beribadat. Tidak terpikirkan alternatif lain walau hanya sekelebat. Jika itu muncul dalam benak, simpanlah untuk diri sendiri agar tidak dianggap sesat.

Dari kebiasaan hingga menjadi adat istiadat, akhirnya keberadaan gedung tersebut menjadi bagian dari syariat. Kehadirannya menjadi fundamental, dan itu berubah status menjadi sakral. Apalagi begitu banyak, tak terbilang ayat, yang dapat dianggap membenarkan pendapat, bahwa itulah tempat ibadat.

’Cinta untuk rumahMU’, perlu dilihat dengan kacamata baru! Ekspresi iman dan kebiasaan telah begitu lama bersatu padu. Untuk bisa dipisah satu persatu, jema’at bak umat Israel perlu terlepas dari bubu. Perangkap perbudakan, umat pilihan selama ratusan tahun hidup dalam keterikatan, tidak ada kebebasan. Tiba-tiba, umat Israel terlepas dari kerja paksa. Bebas merdeka, sila mau lakukan apa saja.

Pemahaman ’rumah-MU’ selama belasan abad, hanya dalam hitungan belasan bulan pengertian itu dibabat. Bangunan nan mewah, di desa pun itu selalu menonjol karena megah. Sekarang semuanya terbengkalai, tidak lagi dipakai. Bagi daku dan mungkin juga dikau, fakta ini membuat hati galau.

Mungkinkah bulan-bulan ini jema’at tengah digiring lepas dari keterikatan, kemudian masuk ke babak baru dalam berelasi dengan Tuhan? Jika fondasi iman telah tergoncang, semua kebiasaan beribadat ditendang, maka siap-siaplah yang baru sedang datang.

Dan katakanlah kepadanya: TUHAN, Allah orang Ibrani, telah mengutus aku kepadamu untuk mengatakan: Biarkanlah umat-Ku pergi, supaya mereka beribadah kepada-Ku di padang gurun; (Keluaran 7:16)

Siapa duga, tidak ada yang menyangka, si Corona dengan gagah perkasa memaksa daku dan dikau untuk angkat kaki dari pola terbiasa. Keteraturan yang sudah begitu lama, sekarang ditinggal pergi begitu saja. Dan disaat yang bersamaan, umat menghadapi era ketidakpastian. Yang lalu sudah didepak, yang baru sudah mulai samar-samar tampak.

Ayo pergi kepadang gurun, lepas dari ritual yang telah diwariskan turun temurun. Melihat dengan kacamata baru, serasa semua tidak lagi semu. Sejatinya, yang lama-lama pun terlihat berbunga-bunga, karena semua jadi berbeda. Bukan karena tradisi telah berubah rupa, namun karena cara melihat tidak lagi sama.

Warna kacamata menentukan, corak apa yang akan kelihatan. Peran sakral gedung telah disingkirkan, deg-degan menanti motif apa yang akan digoreskan. Ayo jangan diam berpangku tangan, terus bergerak menuju ke gurun kebebasan. Sejatinya, daku dan dikau ikut menentukan, sejarah kerohanian yang akan datang. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Photo by Bud Helisson on Unsplash

Comments

comments