Yakobus 2:1
Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.
Seorang kakek tua yang sudah lama menduda dan sudah pikun tinggal bersama anaknya yang ke-4. Kakek itu memiliki anak 6 orang, tetapi anaknya yang lain tidak ada yang bersedia menerimanya.
Karena matanya sudah kabur, maka jika makan, dia sering salah memasukkan makanan ke mulutnya. Kalau selesai makan, sisa makanan banyak yang bertaburan di meja tempat dimana dia makan.
Menantunya mengusulkan agar mertuanya itu dititipkan saja di rumah jompo. Karena rumah jompo sudah penuh, maka kakek tua itu dipindahkan saja ke dapur dekat kamar mandi. Di situ dia didudukkan di sebuah tikar.
Tempat makannya dibuatkan dari bambu yang tidak layak untuk tempat makan, layaknya untuk binatang peliharaan. Kakek itu sangat sedih tapi apa boleh buat, tidak ada daya untuk mengeluh karena dia tahu diri.
Suatu hari cucunya membuat piring-piringan dari bambu. Ayahnya bertanya untuk apa piring bambu itu. Anaknya menjawab untuk membuat tempat makanan.
Ayah anak itu langsung teringat akan bapaknya, kakek tua, di dapur yang memiliki tempat makan bambu. Dia berinterpretasi seolah anaknya mempersiapkan piring bambu tipis itu untuk dia kelak. Dia jadi sedih dan merasa malu melihat dirinya sendiri. Akhirnya dia mengembalikan ayahnya ke tempat semula dan dilayani dengan baik.
Mungkin kisah di atas terlalu ekstrim. Kisah itu mengingatkan kita bahwa sering sekali manusia merendahkan sesamanya, apalagi jika dia merasa bahwa sesamanya itu tidak membawa manfaat apa-apa.
Orang sering dihargai dan dihormati jika masih dapat memberi keuntungan, terutama keuntungan finansial. Namun bila sudah tak dibutuhkan lagi, maka cenderung akan dilupakan dan dijauhkan bila perlu. Lupa kacang dengan kulitnya.
Sifat alami manusia sering melihat dan membeda-bedakan orang berdasarkan sejauh mana orang itu memberi faedah dan keuntungan. Kita sering bertindak kerdil dengan berpihak kepada manusia yang memiliki sesuatu yang kita butuhkan.
Orang yang nampaknya tak berpotensi dan tidak memenuhi harapan, cenderung tidak diperhatikan sebagaimana layaknya. Kita sering pilih kasih dan memihak kepada siapa yang ”punya” dan tidak menghiraukan orang yang ”tak punya.”
Allah tidaklah demikian. Allah tidak berpihak dan senantiasa mengasihi setiap manusia karena semua manusia adalah ciptaan-Nya.
Marilah sebagai anak Tuhan, kita belajar memiliki sifat Allah yaitu memandang manusia sejajar, dan berilah penghargaan yang pantas dan rasa simpati kepada setiap orang apapun latar belakangnya.
Selamat beraktivitas.
Tuhan menyertai dan memberkati kita. Amin.
Salam dan doa,
Alamta Singarimbun-Bandung
![]() |
Alamta Singarimbun adalah seorang Doktor dari Universitas Kyushu Jepang.Saat ini bekerja sebagai Dosen di Departemen Fisika ITB sejak tahun 1987 dan juga Dosen Agama & Etika Kristen Protestan di ITB sejak tahún 2011. Tahun 2013 ditahbiskan sebagai Pendeta Kampus (Campus Chappel) di Gereja Anglikan Indonesia. Baca selengkapnya |
Image by Vishnu Vasu from Pixabay




