254. ‘Anak Jalanan’

Viewed : 488 views

Sahabat! Akhirnya gelombang pertama kedatangan vaksin Covid-19 telah sampai di tempat. Indonesia menjadi salah satu negara yang pertama-tama dapat. Lega rasanya setelah sekian lama masyarakat dalam situasi ‘panic mode.’ Masa-masa di mana hal-hal yang tidak masuk akal pun bisa jadi obat. Akankah vaksin itu mujarab? Wallahu a’lam bishawab!

Yang pasti! Si virus telah merubah total bagaimana umat berbakti. Akidah agama yang selama ini sudah diyakini akan seperti itu tetap bertahan sampai nanti. Eeehhh, ternyata terbukti! Tidak ada yang abadi di bawah matahari. Ritual yang begitu sakral pun rontok tidak tahan uji. Tempat-tempat suci juga tidak lagi berfungsi. Semuanya ketahuan rapuh kala dilanda pandemi.

Katakanlah: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Celakalah dukun-dukun perempuan, yang mengikatkan tali-tali azimat pada semua pergelangan dan mengenakan selubung pada kepala semua orang, tua atau muda, untuk menangkap jiwa orang. Apakah kamu hendak menangkap jiwa orang yang termasuk umat-Ku dan membiarkan orang-orang lain hidup untuk kepentinganmu? (Yehezkiel 13:18)

Sebagaimana umat terdahulu. Di era zaman nabi Yehezkiel tempo dulu. Ada saja simbol-simbol yang mengalihkan perhatian jemaat. Perhiasan di kepala yang akan mengikat. Serta tali-tali zimat yang ingin menangkap jiwa umat.

Akhirnya kepada bentuk rituallah jama’ah lebih terpikat. Tempat ibadah menjadi keramat. Jiwa umat terperangkap. Kepada perkara-perkara yang ritualistis jema’at terikat. DIA diabaikan karena dianggap tak terlihat.

Apakah mungkin selama ini ke tempat ibadahlah jiwa umat telah tertambat?

Kepada urutan-urutan tata ibadah jema’at taat. Jumlah hari-hari suci dan minggu sakral semakin bertambah pesat. Setia mengikuti itu akan mendapat berkat. Jika abai memelihara itu maka semua sudah anggap akan kualat. Bukankah itu artinya jiwa umat sudah menjadi budak adat istiadat?

Si Corona memang hebat! Tidak ada ampun, tidak ada yang dilewati, semuanya dibabat. Dilibas habis tiada yang sisa hingga tamat. Tidak peduli apakah itu sakral ataupun keramat. Semua ditata ulang seakan-akan baru saja dibuat. Aturan-aturan anyar yang harus diikuti jema’at.

Aku tidak pernah diam dalam rumah sejak Aku menuntun orang Israel dari Mesir sampai hari ini, tetapi Aku selalu mengembara dalam kemah sebagai kediaman. (2 Samuel 7:6)

Allah yang disembah Abraham, Ishak, dan Yakub adalah TUHAN yang tidak betah tinggal di rumah dari kayu. Namun, bukankah kecenderungan umat ingin bertemu DIA di tempat yang pasti sejak dahulu? Kalau mungkin malahan bukan hanya tempat yang pasti, akan tetapi juga waktu. Termasuk tata cara bagaimana urutan-urutan langkah untuk bertemu. Itu seolah-olah ke pejabat tinggi umat hendak bertamu.

Tidak seperti yang dirindukan umat manusia. Allah tidak rela dipenjara. Bak DIA diam terpaku menanti jema’at satu-satu tiba. DIA lebih afdol menggambarkan diri-NYA sebagai Sang Pengembara. Di jalanan DIA terlebih suka. DIA terus bergerak dari satu lokasi ke tempat yang berbeda. Alamat pasti DIA tidak ada. Sebab tempat untuk meletakkan kepala pun DIA tidak punya.

Sekitar 2000 tahun yang lalu, DIA memberanikan diri untuk datang. Apa daya sejak awal pun DIA sudah ditendang. Kehadiran-NYA di dunia seakan-akan seperti tamu yang tak diundang. Itu ditandai dengan tempat lahir-NYA pun di kandang. Bak hanya biri-biri saja yang gembira mengucapkan: ’Selamat datang!’ DIA yang malang.

Sejak itu DIA berkeliaran bak orang lugu. Berjalan kian kemari tak menentu. DIA dapat kamu temukan di jalanan Yerusalem yang berdebu. Jangan tanya di mana dikau dapat bertamu. Karena alamat-NYA tidak ada satu orang pun tahu. Tahu-tahu DIA sudah ada di situ. Sekejab dicari-cari DIA sudah berlalu. Bak anak jalanan DIA terus mencari daku dan kamu.

Dalam perjalanan panjang DIA menyempatkan diri melintasi kota Yerikho. Di jalan utama kota itu kiri kanan ada satu dua toko. Di ujung jalan DIA memandang Zakheus yang bak orang melongo. Mata mereka berpadu. Zakheus tanpa ragu. Segera mengundang DIA untuk bertamu (Lukas 19). Itulah awal hidup si pemungut cukai dengan lembaran baru.

Hari pas lagi terik-teriknya. Saat tak nyaman namun itulah waktu yang tepat bagi perempuan Samaria untuk berkerja. Ambil air di sumur Yakub dengan menimba. Siapa duga. Tepat lagi keringat-keringatnya bekerja, DIA menyapa. Di tepi sumur itulah hidup si wanita pelakor itu tidak lagi sama (Yohanes 4).

Bagi kamu berjalan-jalan di pagi hari yang cerah di pantai berpasir adalah wisata. Bagi kami, nelayan, pagi ini bak malapetaka. Semalaman bekerja, tak dapat apa-apa. Lalu apa yang harus dibawa untuk keluarga? Hingga di situasi letih lesu itu DIA tiba-tiba menyapa (Lukas 5). Di pantai berpasir itulah masa depan sang nelayan jadi berbeda.

Harap waspada! DIA tidak akan kamu temukan dengan khusyuk bertapa. Jangan mencari DIA di gua-gua. Bahkan DIA pun tidak ada di sekolah teologia. Apalagi di bangunan gereja. Akan tetapi DIA senantiasa ada di mana-mana. Bak anak jalanan DIA terus berada tepat di tempat kamu ada. Bukan di tempat yang mengada-ada. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM

Image by CCXpistiavos from Pixabay

Comments

comments