Kamu tidak akan percaya. Apa yang dilihat mata. Dan juga tidak akan yakin apa yang didengar. Rasanya itu mustahil benar. Andai saja Sahabat tertidur panjang. Bak nyenyak sangat bukan alang kepalang. Walau terbuai tidak selama di film animasi Sleeping Beauty. Hanya beberapa bulan terlewati. Dan engkau akan terkejut layaknya terbangun dari mimpi. Secepat ganti pakaian. Bangun dan tahu-tahu sudah ada di dunia lain.
Aku terduduk di samping tempat tidur. Pejamkan mata sambil tafakur. Bergumam sendiri bak orang ngawur. Kuusap-usap mata yakinkan diri ini tidak ngelindur. Kulihat matahari masih terbit di ufuk Timur. Dan juga sepanjang siang pelan-pelan dia undur. Sore menjelang magrib masih di ufuk Barat surya terkubur. Mentari masih melakukan ritual secara teratur.
Seperti biasa memasuki bulan ber. Siap-siaplah ember. Musim hujan sudah mulai tiba. Pagi-pagi pun dapat seketika jadi gelap gulita. Hujan deras lantas banjir pun di mana-mana. Musim kemarau musim hujan setia kepada urutan. Taat kepada bulan-bulan yang layaknya sudah ditentukan. Cuaca pun masih ikuti pola yang sama.
Alam masih setia melakukan fungsinya. Tidak ada perubahan. Sudah jutaan tahun begitu. Dan mungkin akan masih lama seperti itu. Sehingga generasi satu beralih ke generasi berikutnya. Alam tetap seperti yang dulu-dulu. Tidak begitu dengan kebiasaan penghuninya.
Hanya dalam beberapa bulan berlangsung. Serasa itu baru seumur jagung. Mendadak semuanya menjadi serba canggung. Sontak semua bingung. Entah engkau berumur bak sudah ada di ujung. Ataupun ada di masa-masa bergairah laksana anak remaja tanggung. Sekonyong-konyong semua ada di atas panggung. Mau pulang kampung. Ataupun menyendiri di gunung. Sila, untuk masing-masing merenung. Tentukan sendiri apa-apa yang mau ditanggung.
Bait kami yang kudus dan agung, tempat nenek moyang kami memuji-muji Engkau, sudah menjadi umpan api, maka milik kami yang paling indah sudah menjadi reruntuhan. (Yesaya 64:11)
Ini bukan yang pertama kali. Sejarah sudah mencatat berkali-kali. Ribuan tahun lalu sudah beberapa kali terjadi. Bangunan megah tempat dilakukannya ritual suci. Bangunan agung tempat umat menyenandungkan puja puji. Tempat afdol menyembah Sang Ilahi. Bangunan dari batu dan kayu habis dilalap api.
Sakit kali hati ini. Melihat Bait Allah begitu rendah bak debu ada di telapak kaki. Itu telah jadi reruntuhan yang tidak lagi ada arti. Di mana umat harus berbakti. Dikemanakan imam-imam dari suku Lewi. Bagaimana nasib ritual korban-korban pagi dan petang hari. Dan segudang kebiasaan yang dipelihara dari generasi ke generasi.
Kini! Itu bagaimana?
Sama saja. Namun, dalam pola yang berbeda. Si Corona datang. Entah engkau seorang pedagang. Ataupun termasuk pemuka rohani bak sudah setingkat pawang. Tanpa memandang. Semua ditendang. Bangunan gereja nan megah pun jadinya ditinggalkan orang. Tidak terdengar lagi khotbah-khotbah yang lantang. Semua jemaat disuruh pulang. Seakan-akan dipaksa masuk ke dalam kandang.
Sirnalah kebaktian. Tidak ada lagi latihan-latihan. Untuk persiapan ibadah mingguan. Bagaimakah merayakan Rabu abu? Kamis putih sudah berlalu. Jumat Agung tidak lagi seru. Sabtu suci tinggal sebatas rindu. Dan ibadah subuh di Minggu paskah hanya sekadar cerita masa-masa lalu. Tidak ada lagi perayaan yang berkesan di kalbu.
Kini! Itu bagaimana?
Sebegitunyakah jadinya ibadah umat Nasrani? Semua sirna bak terbangun dari mimpi. Mimpi yang panjang sekali. Tidak percaya ini terjadi. Hanya dalam hitungan bulan semua ritual telah pergi. Kebiasaan yang dipelihara dari generasi ke generasi. Itu sudah tidak ada lagi.
Kini! Itu bagaimana?
Perubahan signifikan! Perubahan kilat seolah-olah hanya membalik tangan. Yang lama ditinggalkan. Ritual sakral diabaikan. Semua digiring ke halaman baru di dalam kehidupan. Jama’ah dipaksa untuk menemukan ulang arti ibadah kepada Tuhan.
Perubahan yang sangat berarti. Kembali ke esensi. Yang sejati. Hal-hal yang tidak lekang oleh waktu. Bahkan si Corona pun ikut membantu. Menyadarkan dikau dan daku. Ada sesuatu. Itu jauh lebih bermakna dari sekadar merindukan kemeriahan hari suci Rabu abu. Bisa jadi perubahan ini membangkitkan ibadah kembali menggebu-gebu.
Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. (1 Petrus 2:5)
Ups! Engkau jadi batu. Aku jadi kayu. Semua diperlukan sebagai bahan baku. Untuk membangun suatu Rumah Tuhan yang baru. Rumah yang bukan seperti yang dulu-dulu. Ini rumah rohani. Rumah yang terdiri dari material hati. Pintu dan jendelanya terbuat dari nurani. Persembahannya adalah kalbu. Ibadahnya tidak kenal jadwal waktu. Itulah yang DIA rindukan selalu. Senantiasa DIA berada di hatimu.
Selamat datang! Selamat bersenang-senang. Walau engkau terperangkap dalam kandang. Aku tidak bisa ke mana-mana karena dilarang. Ataupun demi sesuap nasi masih harus terus berdagang. Jangan bimbang. Ibadahmu tidaklah berkurang. Karena ibadah itu adalah hidupmu yang sekarang! (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.
Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM |
Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash




