Sudah hampir 2 tahun berlalu, selama itu pula daku dan dikau dipaksa meninggalkan kebiasaan sakral. Ritual yang begitu telah menyatu dengan kalbu, bagi pertumbuhan iman itu bagian yang fundamental. Tidak terbayangkan rutinitas iman yang demikian vital, walau itu sudah menjadi satu dengan prilaku, sekarang sudah tidak lagi laku.
Siapa nyana, tidak ada yang dapat duga bahwa peristiwa sedahsyat ini akan menimpa umat percaya. Sebelum datang si Corona, tidak pernah terpikir jema’at akan dipaksa menjauhi gereja. Dan kejadian ini tak tanggung-tanggung menimpa umat seluruh dunia.
Tidak ada lagi rasa bersalah, walau tidak pergi ke gereja di hari Minggu untuk beribadah. Dulu-dulu hari Minggu sungguh berarti, hari henti, hari ibadah kepada Sang Ilahi. Kebiasaan ini diturunkan dari generasi ke genarasi. Semua mata dan telunjuk mengarah kepadaku, dianggap berdosa jika tidak ibadah minggu. Sekarang? Kebiasaaan ini telah menghilang.
Sulit dipercaya, tapi apa hendak dikata, ini ternyata fakta.
Dahulu? Liturgi mengikuti aturan denominasi. Kapan duduk, bila berdiri, kidung yang mana harus dinyanyikan, semuanya diatur dengan rinci. Setiap aliran gereja ada keistimewaan, itu sebagai keunikan dalam menyembah Tuhan.
Jika dikau termasuk yang setia, rajin beribadah di gereja. Bisa jadi, dari hari Minggu ke hari Minggu berikutnya, ritual minggu pertama dan ke dua hingga seterusnya, berulang-ulang hal yang sama. Dari dikau masih belia hingga sudah berkeluarga bahkan sampai tutup mata, hamba Tuhannya masih pastor yang sama.
Tanpa sadar umat digiring ke dalam kebiasaan ritual seturut dengan denominasi. Kelaziman yang diikuti dengan disiplin dan berlangsung dari turun temurun akan menjadi tradisi. Adat istiadat yang mengatur prilaku jema’at dalam menyembah Sang Ilahi. Budaya yang mengikat jema’at dalam melakukan ritual suci.
Jika ibadah sesuai dengan tata cara urutannya, liturgi diikuti dengan tanpa cacat cela, rasa plong terpancar dari muka. Jema’at senang, majelis pun riang, hari ini ibadah telah berlangsung sesuai aturan. Sambil salaman, hamba Tuhan mengingatkan: ”Sampai jumpa lagi minggu depan!’
Sekarang? Dikau dapat memilih ritual ibadah yang mana yang dikau senang. Situasi ini sungguh tidak terbayang, dan tidak ada yang dapat melarang. Hanya sejauh click, dikau dapat pilih ritual denominasi yang cocok di hati. Bahkan kini hanya sejauh ujung jari, dikau dapat juga mengikuti ibadah suasana jema’at Katolik.
Kalau kebetulan dikau kurang suka dengan gaya kalem sang pengkhotbah, tidak dapat meresapi tahap-tahapan ibadah yang terlalu ritualistik, sekejap dapat pilih ibadah yang ke arah kharismatik. Bosan dengan lagu dari Kidung Jema’at, tersedia luas lirik kontemporer dengan beragam iringan musik futuristik.
Dengan fasilitas live streaming ataupun ibadah online, runtuhlah eksklusivisme denominasi. Di masa pandemi, siapa saja bahkan mereka dari yang berbeda agama, dapat menyaksikan ritual penyembahan Tuhan. Di era si Corona sudah tidak ada lagi keistimewaan denominasi. Periode seakan-akan tidak ada lagi batas denominasi. Dikaulah menjadi penentu, mau ikut yang ini atau yang itu.
Bagi daku dan mungkin juga dikau, fakta-fakta ini membuat galau. Kebiasaan itu, walau baik, namun ternyata tidak dapat bertahan. Bak rumah-rumahan, berantakan dilibas si virus dari Wuhan. Tidak adakah kebiasaan ibadah yang kukuh? Konsisten sepanjang zaman, kuat karena didasarkan di atas Firman Tuhan.
Hampir dua tahun sudah berlalu, daku dan dikau dipaksa tinggalkan kebiasaan sakral yang sudah menyatu dengan kalbu. Songsong ritual baru, kebiasaan yang takkan goyang karena waktu. Ayo tinggalkan romantisme masa lalu, teruslah maju. (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.
Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM |
Photo by John Schnobrich on Unsplash




