299. Manna

Viewed : 935 views

Bagaimana mungkin diam, untuk merenung dalam-dalam jikalau tuntutan pekerjaan terasa mengancam. Tak kenal waktu, tugas datang bertalu-talu. Berangkat kerja matahari belum terbit, hingga pulang larut malam dengan perasaan terbirit-birit. Anak-anak pun tidak lagi sempat dididik.

Hiruk pikuk dunia pekerjaan, menjerat setiap insan. Jujur saja, di tengah-tengah kesibukan, sungguh sulit untuk dapat berpikir tentang Tuhan. Bagaimana mungkin dapat hati teduh, kalau di sekeliling gaduh. Semua berlomba untuk berprestasi, untuk mencapai karier tertinggi.

Belum lagi kemacetan lalu lintas, kesabaran diuji sering melampaui batas. Angkutan umum penuh, tidak guna mengeluh. Belum bekerja sudah berpeluh, karena omzet belum tercapai penuh.

Belum tahu bagaimana menyelesaikan rintangan, tantangan yang lain sudah menghadang. Tegoran keras masih terngiang-ngiang, ancaman pemecatan sudah menjelang. Sukses pun hanya bumbu kehidupan, segera lenyap dari kerasnya persaingan di dunia pekerjaan.

Sampai di suatu malam, hening diam sendirian. Timbul rasa bersalah yang tak tertahankan, menusuk hati hingga sumsum tulang belakang. Apakah hidup hanya akan berputar-putar sekitar dunia pekerjaan? Keadaan ini tidak dapat dibiarkan.

Mulailah melibatkan diri dalam kegiatan kerohanian. Setia mengikuti dari satu pertemuan ke persekutuan tengah mingguan. Penggunaan waktu semakin tidak dapat dikendalikan, semua menuntut jatah yang tidak dapat dielakkan. Walau beban kerja tak karuan, namun terasa lega karena tidak hanya mengejar keduniawian.

Hingga akhirnya fisik dan emosi kelelahan, tak kuasa menahan tarikan kiri kanan, semua minta didahulukan. Tergencet di dua macam cara pandang, dunia pekerjaan vs dunia kerohanian.

Selesai bekerja, langsung ikut persekutuan doa. Belum sempat tegor sapa dengan keluarga, dari kantor langsung ikut PA. Kegiatan di hari Sabtu dan Minggu jangan ditanya. Tadinya itu waktu dengan keluarga, sekarang justru jauh lebih sibuk dari hari kerja. Hingga datangnya si Corona!

Semua terhenti, dipaksa diam di rumah sendiri. Baik kegiatan duniawi maupun rohani, tidak ada yang terkecuali, sama-sama dilibas pandemi. Pengalaman langka yang dulu-dulu tidak pernah dialami. Hidup di periode pandemi, perjalanan yang asing sama sekali.

Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN. (Ulangan 8:3)

Mungkinkah hidup di era si Corona, itu ibarat memakan manna? Jenis makanan asing yang sepertinya begitu saja turun dari sorga. Bukan setahun, namun diperlukan pengalaman makan selama 40 tahun, barulah mengerti hidup ini bukan hanya karena roti.

Manna makanan dari sorga untuk hati yang lapar dan dahaga. Santapan untuk memenuhi kebutuhan gizi jiwa. Sepertinya tidak terlihat namun nyata, karena ini menyangkut gejolak yang ada di dada. Daku dan dikau tidak dapat hidup utuh tanpa manna. Setiap kali, itu hanya cukup untuk konsumsi sehari. Jenis pangan ini tidak dapat ditabung, apalagi disimpan di lumbung.

Manna makanan dari sorga, namun itu sekaligus juga roti biasa. Roti sebagai menu utama, dibutuhkan agar ada tenaga. Tidak tanggung-tanggung, karenanya selama 40 tahun umat Israel mampu naik turun gunung. Manna sekaligus menyadarkan bahwa daku dan dikau masih hidup di dunia.

Manna makanan rasa aneh yang tidak dikenal sejak dulu-dulu. Begitupun pengalaman hidup di era si Corona tidak dikenal generasi pendahulu. Mungkinkah dua-duanya mengajarkan tentang cara pandang ‘manna’? Sejatinya cara pandang duniawi dan sorgawi bukan untuk dipertentangkan. Dalam pengalaman ‘manna’ itu telah dipersatukan.

Kelihatannya rutinitas hidup kembali akan seperti sediakala. Bak tak berbekas, tidak ada perubahan. Daku dan dikau kembali lagi ke kebiasaan. Tekanan pekerjaan, kemacetan lalu lintas, dan segudang rasa bersalah karena tidak ikut kegiatan kerohanian. Akankah cara pandang ‘manna’ segera lagi terlupakan? (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi“,”Divine Love Story” dan “The Great Dance of Divine Love” karya NSM

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Comments

comments