07. Pulang

Viewed : 689 views

Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. (Lukas 15:20a)

Bukanlah hal yang mudah ketika anak bungsu memutuskan untuk pulang ke rumah bapaknya. Godaan demi godaan selalu menghantui dirinya untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang. Tetapi hiruk- pikuknya kadang babi tidak mengganggunya untuk berdiam diri, menenangkan diri dan mengambil keputusan besar untuk pulang.

Akhirnya dia bangkit, meninggalkan kandang babi, dan melangkah pulang. Harga dirinya dipertaruhkan. Ia pergi karena ia tahu, ia membutuhkan makanan dan minuman. Kenangan akan orang upahan yang hidup berkelimpahan di rumah bapaknya lebih mendorongnya untuk pulang, dari pada kerinduannya untuk bertemu dengan bapaknya.

Perjalanan pulang mengajak kembali dirinya untuk menapak tilasi pejalanan hidupnya. Ketika setiap jengkal kakinya melangkah, waktu serasa berjalan sangat lambat. Setiap jalan pulang yang dia lalui, pernah ia lalui ketika pertama dulu meninggalkanbapaknya, seakan menjadi saksi kegagalan hidupnya. Setiap batu petunjuk yang dilewatinya seakan sedang berguman pelan kepadanya, “Pernah suatu kali seorang anak durhaka melewati tempat ini dengan segala kemegahan harta yang dia miliki, tetapi sekarang bagaikan anjing kudisan yang sedang mencari-cari jejak kepulangannya ke rumah majikannya.”

Anak bungsu menapaki jalan untuk pulang dengan tertunduk, lemah dan tidak berdaya. Dengan kepala tertunduk sambil menapaki jalan, seolah dirinya sedang berkaca mengenang segala hal yang telah dialaminya. Perjalanan panjang ke rumah bapanya telah mengajarkan kepadanya berbagai kebajikan hidup. Dalam keheningan perjalanan yang dia lalui, seolah bagaikan waktu teduh yang sangat panjang untuk merenungkan kembali kehidupannya. Tidak ada harta, wanita, dan kemuliaan dunia ini yang mengganggunya selama perjalanan pulangnya, semua telah lenyap dan mengecewakannya.

Hanya satu permintaan yang dia minta, “Ijinkanlah saya menjadi seorang upahan saja.” Sang anak bungsu yang sekarang berbeda sama sekali dengan si bungsu yang dahulu telah melewati jalan yang sama.

Ketika tujuan semakin dekat, ada pikiran untuk mengurungkan keputusannya. Kadang muncul keraguan, apakah bapaknya masih mau menerimanya, pun hanya sebagai orang upahan? Ia duduk termenung, tercekam keraguan yang tidak beralasan yang dia buat sendiri. Apakah benar kepulangannya akan diterima?

Ketika melewati daerah kelahirannya dan dirinya dibesarkan, seolah-olah semua mata sedang menatap kepadanya dengan penuh curiga. Setiap mata yang melihatnya bagaikan tusukan tajam bagi jiwanya. Ia malu tetapi ia tetap melangkah ke rumah bapaknya.

Isu dan gossip telah menyebar sepanjang perjalanannya, mendahului kepulangannya. Semua orang dia rasakan ingin berpaling dari padanya, tidak percaya betapa buruk keadaannya. Ia ingin melarikan kakinya cepat-cepat atau bersembunyi dari keadaannya ini. Tetapi dalam hatinya yang paling dalam ia menyadari bahwa di rumah bapanya adalah tempat terbaik baginya.

Bapaknya yang menunggu tetap dengan setia menantikannya.

Teja adalah suami dari Titin, ayah dari Kasih dan Anugrah.

Image by Fathromi Ramdlon from Pixabay

Comments

comments