302. Romantisme Masa Silam

Viewed : 354 views

Waktu terus bergulir, bak air terus mengalir. Tidak pernah sangsi ataupun harus berpikir, berjalan tanpa henti terus menuju ke hilir. Sudah sekitar 2 tahun dibombandir, lebih 7 milyar orang dilibas hingga kocar kacir. Semua kebiasaan diapkir, termasuk ritual sakral agama juga turut dipaksa minggir. Dan tujuan dari semua ini masih terselubung misterius dibalik tabir.

Namun hidup terus berjalan, jika terperangkap masa silam akan dihantam oleh perubahan. Untuk bertahan, tidak ada pilihan, walau begitu berat beban, akan tetapi kaki harus melangkah ke depan. Yang lalu tinggal kenangan, memori yang sulit dilupakan. Hari ini juga akan ditinggalkan, tinggallah masa yang akan datang.

Daku dan dikau tinggal punya jatah masa depan. Bukan kemarin yang menentukan, tidak juga hari ini yang memastikan, masa depanlah yang menuntun langkah ke depan. Bak bintang natal, penuntun orang-orang Majus melangkah ke arah yang tidak dikenal. Mengandalkan penglihatan, memperhatikan tanda-tanda alam, maju selangkah demi selangkah walau di gelapnya malam.

Daku, dikau, dan jema’at secara keseluruhan, walau penuh kebimbangan, namun didorong untuk melangkah ke depan. Menghadapi perubahan, bukanlah perkara gampang. Apalagi jika itu menyangkut yang sakral, bagi iman begitu fundamental. Meninggalkan kebiasaan, sama saja dengan memutuskan tali kecanduan!

Kita teringat kepada ikan yang kita makan di Mesir dengan tidak bayar apa-apa, kepada mentimun dan semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih. (Bilangan 11:5)

Walau Mesir sudah jauh di belakang, namun kenikmatan masa lalu sulit dilupakan. Begitu menggodanya masa yang telah silam, selalu dikhayalkan siang malam. Apalagi jika yang dihadapi sekarang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Romantisme masa lalu memang manis untuk dikenang. Bak lansia yang bergetar jiwa kala dengar lagu oldies tahun 60’an. Nada dan ritme lagu, pas betul di kalbu. Irama nostalgia, membawa daku ke masa remaja. Dan itu membuat daku buta, telinga tak tertarik lagi dengan musik yang sekarang menggema. Apapun kata mereka, nada-nada itu sudah menyatu dengan jiwa.

Tidak heran, jika tanpa sadar daku dan dikau kembali melirik album photo lama. Tawa canda di raut muka, itu penuh memori yang tidak mungkin lupa. Seribu satu cerita, dalam setiap lembar photo culun anak-anak desa. Betapa rindunya, masa silam yang begitu menggoda.

Ayo! Sadar! Manalah mungkin ada mentimun di padang pasir tandus. Tidak ada guna mengkhayal tersedia semangka dingin di panasnya hari. Bawang prei, bawang merah dan bawang putih, itu hanya tinggal sebatas kenangan masa lalu. Apalagi terpukau dengan kenikmatan ikan goreng, itu tinggal dongeng.

Mungkinkah hanya angan-angan untuk mengharapkan keadaan seperti yang silam? Pertemuan di gedung, ibadah praise and worship, sekitar 2 tahun sudah ditiadakan. Indahnya persekutuan, pemuridan, canda tawa dengan teman-teman seiman, khusuknya doa sambil pegang tangan, itupun apakah tinggal kenangan?

Apalagi KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani), ibadah raya tahunan di lapangan, itu sudah dilupakan. Hamba-hamba Tuhan yang selama ini menjadi idola di kebaktian penyembuhan, paduan suara, vocal group yang selalu dinanti-nantikan. Sekarang semua tidak lagi kelihatan, apakah mereka sudah kehilangan pekerjaan?

Lantas?

Untuk melangkah ke depan, jangan lagi memandang ke belakang. Untuk maju, relalah meninggalkan romantisme masa lalu. Walau arah belum tahu, mari terus melangkah maju. Tinggalkan candu kebiasaan, songsong masa depan. Karena tinggal itulah jatah daku dan dikau sebagai insan. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM

Photo by Laura Fuhrman on Unsplash

Comments

comments