242. ’Momentum Perubahan’

Viewed : 447 views

Walau sudah berbulan-bulan. Sejak si Corona muncul di Wuhan. Belum juga ada tanda-tanda si virus dapat ditaklukkan. Malahan, beberapa daerah kembali memberlakukan pembatasan gerak yang kembali menghantam roda perekonomian. Seolah-olah sekarang kembali lagi seperti permulaan. Layaknya tidak ada kemajuan yang signifikan. Berjalan di tempat dalam menghadapi mahkluk tidak kelihatan.

Tadinya terasa sudah mulai ada harapan. Pusat-pusat perbelanjaan. Gedung-gedung pemerintahan. Tempat-tempat hiburan. Walau dengan pembatasan, itu mulai dioperasikan. Sektor ekonomi pelan-pelan sudah mulai jalan. Karena aturan-aturan yang membatasi gerakan. Itu mulai dilongggarkan. Tidak luput itu juga dialami tempat-tempat peribadatan.

Jama’ah mulai berdatangan. Pada jam dan hari yang sudah ditentukan. Ketentuan yang sudah menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang diwariskan dari keturunan ke keturunan. Sehingga setelah ratusan bahkan ribuan tahun tidak ada lagi yang berani mempertanyakan. Berduyun-duyunlah umat menuju gedung tempat bertemu Tuhan.

Tradisi itu sudah menjadi keyakinan. Bagian utama dari ekspresi iman. Tak terlepaskan lagi dari kehidupan. Bak batu karang yang tak tergoyahkan. Dan sungguh terasa ada yang hilang. Sepertinya ada yang kurang. Rasanya tak lengkaplah kehidupan. Jika kebiasaan itu tidak lagi dilakukan. Seakan itu akan bertahan sepanjang zaman. Hingga pembatasan gerak kembali dipaksakan.

Ibadah rutin kembali menghadapi kendala. Kebiasaan ibadah tidak lagi seperti sediakala. Ada paksaan yang begitu nyata. Seakan-akan si Corona begitu berwibawa. Si virus tidak peduli dikau pegang ayat yang mana. Ataupun latar belakang dari penganut agama apa. Daku dan dikau siapa. Sama sekali si Corona tak terkesima. Perintahnya tegas untuk umat ibadah di rumah saja.

Ini peralihan peradaban yang tidak sederhana. Walau si virus layaknya ada nan tiada. Kendati si tak kasat mata tidak bisa diajak bicara. Apalagi pandai merespon dengan merangkai kata-kata. Akan tetapi, dia begitu berjaya. Seluruh kebiasan diatur kembali. Termasuk kebiasaan ribuan tahun dalam beragama.

Sekarang, aku telah mendirikan rumah kediaman bagi-Mu, tempat Engkau menetap selama-lamanya.” Kiranya mata-Mu terbuka terhadap rumah ini, siang dan malam, terhadap tempat yang Kaukatakan: nama-Ku akan tinggal di sana; dengarkanlah doa yang hamba-Mu panjatkan di tempat ini. (1 Raja 8:13,29)

Sekitar 3.000 tahun yang lalu. Raja Salomo meletakkan batu penjuru. Sebagai lambang dimulainya pembangunan Bait Suci. Ayat-ayat di atas merupakan bagian dari puja puji. Selebrasi tanda selesai. Pentahbisan dimulainya era baru. Tatanan beragama umat Israel kala itu. Dan kebiasaan ini berlanjut dari generasi ke genrasi. Bahkan bisa tradisi itu, jemaat yakini berlaku hingga kini.

Rumah Allah. Tempat DIA disembah. Lokasi afdol dilakukannya ritual ibadah. Kidung puji-pujian dilantunkan. Doa-doa dipanjatkan. Perayaan hari-hari khusus keagamaan. Korban-korban. Persembahan dan perpuluhan. Semua itu dipusatkan. Kesatu tempat yang seakan-akan sudah dikramatkan. Di bangunan megah. Rumah Tuhan. Tanpa rumah itu. Dimanakah ritual diselenggarakan? Ja’maah bingung tak karuan.

Para imam. Kaum ahli kitab Kejadian hingga bagian kitab yang paling penghabisan. Golongan elite rohaniawan. Berperan laksana mereka sebagai perantara antara umat dengan Tuhan. Mereka-mereka penyelenggara kebaktian. Senantiasa sibuk melayani di rumah Tuhan. Tanpa kehadiran rohaniawan. Siapakah sebagai wakil yang berkomunikasi dengan Tuhan? Jemaat gelagapan.

Setelah ribuan tahun. Tradisi yang dipegang kuat dari turun temurun. Ekspresi iman yang begitu agung. Lenyap hanya dalam hitungan umur jagung. Revolusi keagamaan yang begitu cepat. Umat dipaksa untuk taat. Dahsyat! Semua tunduk bulat-bulat. Tak ada yang berani membantah. Seakan-akan semua pasrah. Dan menyerah!

Si Corona mendesak terus agar terjadi perubahan. Umat dipaksa meninggalkan bangunan rumah Tuhan. Kaum elite rohaniawan. Yang mengaku-ngaku hamba Tuhan. Mereka-mereka petugas penyelenggara kebaktian. No mercy, tak ada belas kasihan. Tidak peduli perasaan. Semua dibebastugaskan. Menyakitkan!

Sambut lompatan besar. Peralihan paradigma akbar. Para ahli kehabisan daya nalar. Tidak tahu jalan keluar. Umat didorong sendiri untuk belajar. Bertegor sapa dengan Sang Benar. Karena kebingungan tengah melanda kaum yang merasa dari golongan pakar. Sila orang biasa-biasa tampil sebagai juru layar.

Ini momentum perubahan. Bola salju perubahan telah menggelinding di perbukitan. Tanjakan turunan saling bergantian. Jalannya sudah tidak ada yang dapat mengendalikan. Perubahan besar-besaran. Mendasar dan signifikan. Perubahan bagaimana iman seharusnya diekpresikan.

Jika golongan elite rohaniawan dianggurkan. Pula dilarang berbakti di bangunan rumah Tuhan. Bagaimanakah ibadah dapat diselenggarakan? Ini momentum perubahan besar dalam pengertian kebaktian. Makna baru ibadah mingguan. Kedudukan baru umat Tuhan. Posisi kaum awam yang kembali tampil di depan.

Ayo! Tangkap perubahan. Jangan tinggal diam. Jangan-jangan ini waktu persiapan. Untuk menyongsong apa yang ada di depan. Kejutan-kejutan yang belum dapat diperkirakan. Masa yang akan datang. Masa pengharapan semua orang.

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM

Photo by Annie Spratt on Unsplash

Comments

comments