Beriman Tanpa Rasa Takut

Viewed : 881 views

Sahabat yang terkasih,

Ada sebuah perkataan Nabi Zakaria yang sangat berkesan di dalam diri saya; demikianlah apa yang dikatakannya:

“supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada Allah tanpa rasa takut”

Musuh menyebarkan ketakutan/terror melalui berbagai macam propaganda dan intimidasi, namun sebaliknya kasih memancarkan sinar terang keberaniannya ditengah ancaman ketakutan/terror dan intimidasi sehingga semakin nyata kebenarannya.

Zakaria sedang tidak berbicara tentang musuh di dalam pengertian secara fisik, tetapi sedang berbicara tentang musuh rohani, yang melalui ide, gagasan, sistem nilai, filsafat hidup, tradisi atau budaya tertentu yang menghalangi seseorang untuk beribadah kepada Allah di dalam pengertiannya yang sejati.

*

Ketakutan merengut kemerdekaan seseorang; menjadikannya sebagai seorang budak dari terror tersebut. Seorang budak mengikuti kenginginan yang menguasai; tidak ada kebebasan yang sejati, dan secara laten terror atau intimidasi yang diterimanya kemudian dianggap sebagai sebuah kebenaran di dalam dirinya. Kemelekatan yang terjadi antara identitas dirinya dan terror yang dialaminya membentuk sebuah pertahanan diri untuk melawan setiap ketakutan yang ada; melawan ketakutan dengan ketakutan. Dusta dari terror tersebut seakan-akan menjadi kebenaran di dalam dirinya, menjadi dasar perjuangannya.

Kapten Ernst Roehm (seorang sahabat Hitler, yang nantinya akan menjadi komandan tertinggi SA, “Pasukan Badai”- sebuah milisi yang lahir sebagai akibat kekalahan Jerman dalam PD I yang memperlancar berkuasanya Nazi), seorang pria dengan filosofi sederhana:

“ Aku masih muda dan liar. Karenanya, perang dan kerusuhan lebih menarik bagiku dibandingkan tatanan borjuis yang rapi. Brutalitas dihargai, rakyat butuh rasa takut; mereka ingin takut pada sesuatu; mereka ingin seseorang yang membuat mereka takut dan memaksa mereka menyerah dalam ketakutan.”

Ketakutan ini juga lah yang dipakai oleh Hitler untuk menghipnotis para pengikutnya untuk mengikuti ideology cult Nazinya. Salah seorang ahli propaganda Nazi dan pendukung Hitler yang setia, Jozef Goebbles,menulis demikian

”Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya”.

Dengan menjadikan orang Yahudi dan orang komunis sebagai kambing hitam kekalahan/ penderitaan yang dialami oleh bangsa Jerman; dusta, terror, intimidasi dan harapan utopis yang dilakukan Hitler telah berhasil memabokan para pengikutnya. Teror itu justu semakin melembaga dengan terbentuknya para para pengawal, pembela dari ideologinya, sehingga terror itu semakin bersimaharajalela.

Ada beberapa kata kunci yang bisa dirangkai yaitu bahwa ketakutan yang diulang-ulang akan membuat orang lain menganggapnya sebagai sebuah kebenaran, kemudian percaya, sertamenyerah dalam ketakutan bahkan menjadi pembela dari ketakutan tersebut.

Dengan mudahnya ketakutan yang ada di dalam kiri kita dimanipulasi. Ketakutan itu menyingkirkan ruang-ruang kebenaran, kemerdekaan dan hati nurani dari dalam diri manusia.

Ketakutan selalu memakan korban, baik diri sendiri maupun orang lain yang menjadi kambing hitam dari situasi yang diciptakannya. Ketakutan membuat orang bertopeng untuk bersembunyi dari keadaan yang sebenarnya.

Di dalam kehidupan batiniah kita dengan Allah, apakah saya beriman karena perasaan takut, dimana kita setiap saat mengulang setiap ritual ibadah kita kepadanya?

*

Ada dua alasan ketika beriman, yaitu karena rasa takut atau karena kasih. Keberanian yang sejati lahir karena adanya kasih serta penerimaan tanpa syarat. Lawan rasa takut sesungguhnya bukanlah hanya berani, tetapi justru kata yang paling tepat adalah kasih.

Orang beriman bisa disebabkan oleh karena rasa takut. Akhirnya mentalitas orang beriman yang dihasilkan adalah mentalitas seorang budak.

Sedangkan beriman yang disebabkan oleh karena kasih dan keberanian menghasilkan orang-orang yang mempunyai mentalitas seorang anak.

Sebagai seorang ayah dari dua orang anak, tentunya saya ingin anak-anak saya berelasi dengan saya bukan dengan rasa takut, tetapi karena dimotivasi oleh kasih, tidak lebih dan kurang. Seruan-seruan kepada ayahnya adalah sesuatu yang spontan dan bahkan intuitive. Anak-anak tentunya tidak jaim dengan orang tuanya, seperti halnya orang dewasa yang lebih formalistik, dan justru di dalam kesederhanaan seorang anak lahir ketulusan dan kepercayaan yang tulus kepada ayahnya.

Tentunya, hubungan kita dengan Allah, khalik langit dan bumi dengan segala isinya akan lebih menggairahkan jikalau itu pun dimotivasi oleh karena kasih, seperti apa yang diungkapkan John Owen dalam Communication with God mengatakan, “Jika kasih seorang ayah tidak membuat anaknya bahagia dalam hubungannya dengan ayahnya, apa lagi yang dapat membuatnya bahagia?”

Sedangkan C.S Lewis dalam Letter (18/7/1957) mengatakan, “Seorang yang sempurna, tidak akan bertindak hanya berdasarkan kewajiban saja; ia selalu menginginkan melakukan hal yang benar daripada yang salah.”

*

Ketakutan menjadi sesuatu yang menghantui.

Sejak pertama kali ketika orang tua pertama kita Adam dan Hawa ketika mereka melakukan dosa di Taman Firdaus, di dalam ketakutan mereka bersembunyi dari hadapan Allah. Ketakutan muncul karena putusnya relasi di dengan Allah, sumber damai yang sejati, dan di dalam ketakutan (dan untuk mengalahkan rasa takut tersebut), manusia berusaha untuk berdamai dengan Allah.

Kata-kata Nabi Zakaria “supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada Allah tanpa rasa takut” tetap menjadi sesuatu yang relevan. Apa yang sebenarnya terjadi, sehingga Nabi Zakaria berseru demikian?

Ternyata melalui kata-kata tersebut Nabi Zakaria sedang mengungkapkan sebuah doa pengucapan syukur dan nubuatan setelah kelahiran anaknya Nabi Yahya (yang oleh Yesus Kristus disebut sebagai seorang Nabi terbesar yang pernah ada). Ucapannya merujuk kepada kedatangan Kristus Yesus dan karya Nya di dunia ini, yang memberikan sebuah platform yang baru di dalam berelasi dengan Allah, bukan di dalam ketakutan, tetapi di dalam keberanian untuk menghadap tahta Allah yang penuh kasih karunia dan kebenaran . Dan dengan berani Kristus Yesus menghadirkan cara baru di dalam menyebut Allah, sebagai BAPA(K) yang di Sorga, sehingga para penyembah Nya bisa beribadah mendekat kepada Allah seperti layaknya seorang anak menyapa, berseru, berbicara, dengan ayahnya.

Jadi sebenarnya ketakutan justru menjadi penghalang utama orang beriman dan untuk lebih beriman lagi. Ketakutan tidak menghasilkan apa pun di dalam kaitannya iman kita dengan Allah.

Mari kita beriman tanpa rasa takut.

Salam.

Teja, 28/7/2019

Teja adalah suami dari Titin, ayah dari Kasih dan Anugrah.

Image by Pezibear from Pixabay

Comments

comments