169. ’A Spiritual Ecstasy’

Viewed : 411 views

Beban ini dipikul terlalu berat. Siapa yang tak tergagap-gagap. Tiap langkah begitu tersendat. Terasa ada rintangan yang menghambat. Kadang patah semangat. Apalagi jalan menanjak dan puncak tak pernah terlihat. Kaki seperti ada pemberat. Tiap langkah itu suatu perjuangan yang memeras keringat. Napas jadi sekarat. Kita seharusnya tak bertanggungjawab. Namun, aku dan dikau telah ambil sikap. Pilih pikul tanggungan yang tidak tepat. Muatan melebihi kemampuan akal sehat.

Berfirmanlah TUHAN Allah: “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; (Kejadian 3:22)

Seakan-akan Allah-pun terkejut. Dia tak mengira! Manusia telah merasa ‘sederajat’ dengan Sang Pencipta. Itu bukan desain yang Dia pikirkan dari sejak semula. Keadaan itu tak pernah terlintas dalam hati-Nya. Apalagi anggap itu rencana-Nya. Jauhlah itu sebagai keinginan-Nya. Setiap detail penciptaan manusia. Jaringan dan susunan syaraf yang begitu rumit. Urat dan pembuluh darah yang kait mengkait. Metabolisme tubuh, emosi, dan logika, sejatinya, itu tidak diperuntukan untuk menanggung beban akibat makan buah pembawa laknat!

Kehendak-Nya sama sekali bukan agar manusia ada kemampuan. Kesanggupan yang bukan diperuntukan bagi manusia. Kapasitas untuk mengetahui ‘yang baik dan yang jahat.’ Kompetensi itu hanya eksklusif milik Allah semata. Apa kata, aku dan dikau ambil langkah celaka! Dan kecakapan ini telah membebani keturunan Adam sepanjang masa.

Kemampuan akan mengetahui tersebut membawa malapetaka. Kesanggupan itu telah membuat manusia menjadi tuhan bagi dirinya. Kesanggupan mengatur diri sendiri. Hubungan sosial ekonomi didasari oleh perkembangan budaya, tradisi, dan teknologi. Sang Pencipta tak lagi dibutuhkan, itu terlihat jelas semakin kesini. Manusia menjadi mandiri. Allah ditendang. Dia dibuang. Parah! Allah dikurung dalam kandang! Manusia memilih menari ritme tarian sendiri.

Baik dan jahat, kini telah tertanam di jiwa. Pengetahuan ini, sejatinya, lebih banyak menyiksa. Seperti ada dua macam nada liar di dada. Nada yang tak saling tegor sapa. Mereka saling berebut menampilkan suara. Nada liar ini menghantui manusia sepanjang masa. Bukankah nada itu dasar dari semua agama? Berbuat baik dapat pahala. Berbuat jahat masuk neraka. Itu cari berpikir yang sangat sederhana. Akan tetapi, bukankah itu yang diyakini manusia yang fana? Di ujung sana, cinta telah hilang entah kemana.

Gawat! Kesadaran akan yang baik dan jahat itu justru mengakibatkan kita ditendang keluar dari Taman Sorga. Entah bagaimana, ilusi taman Nirwana, akhirnya mendorong kita menciptakan sorga dunia versi manusia. Menghadirkan lagi suasana taman itu di depan mata. Kala Adam dan Hawa bertegor sapa dengan Sang Pencipta. Bukankah itu semua tujuan dari prosesi ritual agama?

Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya… Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu. (1 Raja Raja 18:26)

Tak hanya korban persembahan, ritual juga acap kali disertai dengan gerak dan nyanyian. Emosi larut dalam irama dan ritme tarian. Jiwa serasa terangkat ke semacam fase keabadian. Tahapan menikmati ritual, bak keluar dari kenyataan. Tak jarang itu mencapai puncaknya ketika sudah kecanduan alias ‘A Spiritual Ecstasy’ (an experience of mystic self-transcendence) alias bak kesurupan.

Seandainya saya bisa berbicara dalam banyak bahasa, bahkan bahasa malaikat juga, tetapi saya tidak mengasihi orang lain, maka kata-kata saya hanya suara nyaring yang tidak berarti. (1 Korintus 13:1, versi BSD)

The Message: If I speak with human eloquence and angelic ecstasy but don’t love, I’m nothing but the creaking of a rusty gate. (Jika saya berbicara dengan kefasihan manusia dan kegairahan bahasa malaikat akan tetapi tidak mencintai, daku tidak lain hanya bak suara derit gerbang yang berkarat.)

Ups! Ritual bisa membawa daku dan dikau sejauh itu? Kecanduan ikut setiap urutan ibadah. Tak tahulah! Yang pasti, ada rasa lega jika sudah memenuhi semua urutan prosesi. Ada rasa puas bila dapat memenuhi semua tuntutan agama. Tak heran, aturan agama, ritual ibadah semakin lama semakin bertambah saja. Tak sedikit pula, yang tak jemu-jemu (berkanjang) untuk hal-hal yang di luar dimensi manusia. Itu semacam halusinasi rohani. Ketagihan-ketagihan yang tidak lagi ada daya untuk bertanya. Bukankah begitu pengalaman di setiap perjalanan rohani di dunia fana?

Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang pada penglihatan-penglihatan… (Kolese 2:18)

Sayang seribu kali sayang. Ecstasy rohani, berkanjang kepada ilusi, ataupun ritual yang gegap gempita, semuanya itu hanya halusinasi bak suara nyaring yang tidak berarti. Cari dan lakukan yang utama: Cinta. Aaahhh, itu telah lama pergi dari hati. Mari kembali ke semula jadi, di Taman Sorgawi. Karena sejatinya dikau itu tercipta dengan cinta, dalam cinta, dan untuk cinta. Moga, sekitar merasakan cintamu. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” karya NSM

Image by David Mark from Pixabay

Renungan Lainnya :

Comments

comments