19. Anak Hilang

Viewed : 1,025 views

Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. (Lukas 15:31)

Kata-kata yang agung keluar dari mulut ayahnya kepada si sulung, kata-kata yang menegaskan status dia sebagai anak dan hak dia yang sebenarnya. Tidak ada yang terpisahkan antara dirinya dan anaknya. Ada kesatuan di dalam relasi ayah-anak yang sejati. Keagungan relasi yang seharusnya menjadi dasar dari sukacita dan kelimpahan. Tidak seharusnya ada yang menjadi penghalang antara dirinya dengan ayahnya.

Rupanya si sulung tidak menyadari kesatuan hubungan antara dirinya dengan ayahnya. Ia tidak dapat memandang ayahnya sebagai sebenar-benarnya bapanya. Ia terlalu sibuk dengan urusan dan agendanya sendiri, ia lupa untuk menjalani hubungan dengan ayahnya atas dasar kepercayaan, kasih dan keintiman.

Anak sulung lebih memposisikan dirinya sebagai seorang upahan di rumah ayahnya dibandingkan sebagai anak dan pewaris harta yang sah atas segala kekayaan ayahnya. Ia hidup bersama dengan ayahnya dengan segala kerja keras dan ketaatannya, namun ia terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Ia tidak mampu untuk menikmati setiap kelimpahan di dalam rumah ayahnya. Sikapnya yang demikian menjadi penghalang untuk menikmati persekutuan dengan ayahnya.

Ada kasih yang tidak sampai.

Bertahun-tahun anak yang sulung bersama-sama dengan ayahnya, tetapi hal itu tidak membekaskan sebuah kenangan hubungan yang indah yang seharusnya ada diantara ayah dan anak. Ketika si sulung memandang kualitas relasi ayah dan anak didasarkan rasa kepuasan di dalam kepemilikan kekayaan ayahnya, maka ia sebenarnya sudah menjadi seperti anak bungsu, yang meminta harta warisan sebelum waktunya. Ia tidak menyadari kuas yang dia miliki sebagai anak dari seorang ayah yang kaya yang melekat kepadanya. Kasih ayahnya yang tercura kepada dirinya menjadi sia-dia, dan dirinya lebih memandang harta warisan itu dibandingkan relasi dengan ayahnya.

Bertahun-tahun ayahnya berduka dengan kepergian si bungsu, dan ternyata bertahun-tahun pula anaknya yang sulung tidak sepenanggungan dengan ayahnya. Pikran tentang adiknya sudah hilang di dalam benaknya, tidak ada kerinduan akan kepulangannya, bahkan kenangan akan adiknya menghasilkan kemarahan dan kepahitan di dalam dirinya.

Si sulung marah terhadap sikap adiknya terhadap ayahnya. Ia ingin membela ayahnya, tetapi kehilangan kasih terhadap adiknya. Ia tidak sabar terhadap ayahnya yang dengan sabar menunggu kepulangan adiknya. Ketika kasih dan kesabarannya hilang, pembelaanya menjadi kebencian. Kebencian tidak pernah menghasilkan simpati yang tulus. Kebencian membutakannya untuk melihat kash ayah kepada anak-anaknya yang tanpa syarat.

Ia tidak sungguh-sungguh ikut merasakan pergumulan ayahnya. Hatinya beku di dalam segala ketaatannya. Di dalam segala ketaatannya melakukan setiap kewajiban di rumah ayahnya ia telah berlaku sombong, dan menempatkan dirinya lebih tinggi dari yang lain. Ia ingin dirinya menjadi acuan moral di tengah keluarganya. Ia menjadi egois. Dalam keegoisanya ia tidak mau berbagi sesuatu yang sebenarnya pun tidak dia miliki, yaitu sukacita.

Ketika alasan untuk bersukacita karena kembalinya anak bungsu dianggapnya tidak pantas, pastilah sukacita yang diinginkan si sulung adalah sukacita yang murahan. Sukacita yang sebenarnya tidak pernah dia miliki dan yang sangat mudah diambil dari padanya.

Kata-kata ayahnya tersebut keluar dari kesedihan yang sangat dalam mengenai sikap anaknya. Sebuah pernyataan yang menegaskan status dia sebagai anak dalam kesatuan dengan ayahnya, yang mempunyai makna yang lebih dalam dibandingkan dengan segala kepemilikan atas segala harta yang akan diwariskan kepadanya.

Teja adalah suami dari Titin, ayah dari Kasih dan Anugrah.

Image by White77 from Pixabay

Renungan Lainnya :

Comments

comments