17. Anak Kambing

Viewed : 700 views

Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. (Lukas 15:29)

Ironinya adalah si sulung seorang yang sangat setia dengan setiap tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tidak pernah ia mendukakan orang tuanya. Ia anak yang tidak pernah berbuat salah dihadapan ayahnya. Tetapi mengapa ia kehilangan sukacita?

Sukacita selalu lahir dari kesedaran bahwa dirinya dikasihi apa adaya, diterima, dan mempunyai arti. Ia berfikir bahwa dirinya akan dikasihi, diterima, dan mempunyai arti dihadapan ayahnya jikalau dapat melakukan semua kewajibannya dengan baik. Selama bertahun-tahun si sulung melakukan kewajiban itu tanpa cacat, sehingga dirinya merasa layak untuk mendapatkan kasih dan penerimaan itu. Itulah dasar sukacita yang dia perjuangkan.

Di dalam ketaatannya untuk melakukan semua kewajibannya dia tidak pernah mengalami sukacita itu, karena sikap hatinya beku untuk melihat sukacita yang berlimbah yang siap diberikan kepadnya dari ayahnya. Sukacitanya adalah sukacita yang bersyarat, dan dasar sukacitanya adalah pembuktian dirinya layak disebut anak (yang baik), bukanlah dia sebenarnya adalah anak ayahnya?

Si sulung ingin mendapatkan sukacita, tetapi dia tidak pernah menyadari jikalau sukacita itu telah diberikan kepadanya.

Kedatangan adiknya memutarbalikkan hal-hal yang telah diperjuangkan olehnya selama bertahun-tahun. Apa yang telah dicapai dan dibanggakannya menjadi tidak ada artinya. Segala ketaatannya yang tanpa cela salama ini menjadi sia-sia. Dia iri dengan adiknya yang telah mendapatkan semua yang didambakannya itu tanpa harus memperjuangkannya seperti dirinya. Sepertinya dia juga ingin mengatakan, mengapa aku harus taat dan melayani ayahnya dengan setia?

Akhirya semua yang dia pegang dan pendam selama ini mendapatkan kesempatan untuk diungkapkan. Ketidakpuasan demi ketidakpuasan yang dia rasakan selama ini mendapatkan kambing hitamnya dengan kedatangan adiknya yang tidak dia harapkan.

Jauh di dalam lubuk hatinya ternyata tidak pernah merasakan suka cita, bahkan dengan pesta seekor anak kambing dengan para sahabatnya, apalagi pesta dengan seekor anak lembu tambun. Dia tidak menyadari bahwa segala argumennya justru semakin menunjukkan ketidakpuasan hidupnya, meskipun dia hidup di dalam ketaatan.

Ia tidak menyadari bahwa ada sistem nilai yang berbeda di dalam peristiwa ini, yaitu hidup di dalam kasih karunia. Sikap hatinya telah membutakan matanya untuk melihat misteri kasih ayahnya kepada adiknya. Ketaatannya membuatnya sombong, dan jerat legalisme secara tersembunyi telah melilitnya, menghalanginya untuk mengalami sukacita dan ikut bersama berpesta bagi adiknya.

Teja adalah suami dari Titin, ayah dari Kasih dan Anugrah.

Image by Sasin Tipchai from Pixabay

Comments

comments