14. Si Sulung

Viewed : 664 views

Tetapi anakya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah satu hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. (Lukas 15:25,26)

Ada yang tertinggal mengikuti pesta, anaknya yang sulung.

Si sulung yang selalu bekerja keras di dalam ketaatan di rumah bapaknya. Setiap perintah bapaknya dilakukan dengan seksama, dengan lebih rajin dan giat dibandingkan orang lain yang ada di rumah orang tuanya.

Ketika seluruh kampung sudah larut dalam sukacita tersbut, gaungnya ternyata terlambat datang ke telinga anak yang sulung. Bagaimana mungkin di rumah ada pesta yang dia sendiri tidak ketahui sebab musababnya. Namun semuanya begitu cepat berubah, dan bau harum rasa lemak anak sapi mulai tercium, dan suara seruling, rebana, dan kecapi mulai mengalun mengajak setiap orang untuk menyanyi dan menari. Si sulung mulai menyadari bahwa ada pesta yang lebih dari sekedar pesta.

Dan kebingungannya lebih menjadi-jadi, sebab dia sendiri tidak pernah mengalami pesta. Pesta sukacita adalah sesuatu yang sangat asing bagi dirinya. Ketika dia baru datang, maka dia bertanya, “Apa arti semuanya ini?”.

Pertanyaan yang lahir dari seseorang yang tidak pernah mengalami pesta di dalam hidupnya. Pertanyaan yang secara tidak langsung memberikan gambaran betapa dia selama ini di dalam ketaatannya tidak pernah merasakan sebuah pesta sukacita.

Tinggal bersama orang tuanya ternyata tidak membuat dirinya berbahagia. Ia tinggal bersama dengan orang tuanya, tetapi hatinya jauh dari ayahnya. Segala kewajibannya dia lakukan dengan ketaatan yang sempurna, dirinya ingin membuktikan bahwa dia tidak sama seperti adiknya.

Dirinya berbeda dengan adiknya. Adiknya bukan teladan yang baik sebagai seorang anak, adiknya adalah aib bagi keluarganya. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bukan seperti adiknya. Ia tidak menghamburkan harta ayahnya untuk foya-foya. Ia tidak seperti adiknya yang hidupnya sembarangan dan tanpa perhitungan. Ia menjaga nama baik keluarganya. Ia menganggap adiknya adalah sumber masalah bagi keluarganya. Ia marah kepada adiknya. Kemarahannya menetaskankepahitan di dalam hidupnya. Ia tidak bisa mengampuni adiknya. Kepahitannya mengambil sukacita di dalam hidupnya. Sang anak sulung menjadi orang yang dingin di dalam segala kesalehannya.

Ia menyangka bahwa dengan ketaatannya yang sempurna mampu menggantikan kesedihan Ayahnya sejak si bungsu meninggalkan rumah mereka. Ia menganggap dirinyalah yang paling layak untuk dikasihi dengan segala hal yang telah dilakukannya selama ini. Adiknya sudah hilang dan dirinyalah yang menjadi pusat dari keluarga ini.

Ia tidak bisa merasakan kehilangan seperti bapaknya rasakan. Ia kehilangan belas kasihan. Kebenciannya telah berganti rupa menjadi kesalehan yang dingin, egois dan kaku.

Bunyi musik, nyanyi dan tari-tarian tidaklah cukup kuat untuk mendorong dirinya masuk di dalam pesta, justru menimbulkan kecurigaan mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ayahnya. Jikalau adiknya datang dengan segala kejayaan dan keberhasilan, mungkin masuk akal diadakan sebuah pesta, tetapi si bungsu datang dengan segala kebangkrutan. Ini tidak adil.

Teja adalah suami dari Titin, ayah dari Kasih dan Anugrah.

Image by Free-Photos from Pixabay

Comments

comments