253. ‘Sang Tunawisma’

Viewed : 544 views

Masa ini masa yang setiap orang didorong untuk berpetualang. Melihat setiap kesulitan itu sebagai peluang. Karena semua aspek kehidupan ditata ulang. Kebiasaan-kebiasan yang sudah begitu mendarah daging pun dianggap telah usang. Dulu itu berada di puncak menjulang. Sekarang? Ada di urutan yang paling belakang. Dulu itu digadang-gadang. Disayang-sayang. Sekarang itu ditendang. Seakan-akan diabaikan tak berharga seperti sampah tak berguna terbuang.

Tidak terkecuali juga dalam penjalanan iman setiap insan. Ini era yang memaksa setiap jama’ah ambil sikap walau sendirian. Sila ambil jalan meskipun tidak ada kepastian. Jangan berharap akan ada yang memandu di depan. Setiap pribadi tentukan langkah di dalam kegegelapan. Karena sejatinya, yang dianggap selama ini sebagai pemandu jalan pun sama saja, gelagapan.

Malapetaka demi malapetaka, kesusahan demi kesusahan, dan kecelakaan demi kecelakaan akan kamu alami! Kamu akan merindukan penglihatan seorang nabi, ajaran imam-imam, dan nasihat tua-tua, tetapi tidak ada. (Yehezkiel 7:26,FAYH)

Maut terus mengancam. Jerit tangis terdengar siang malam. Atmosfir kehidupan mencekam. Kesusahan demi kesusahan menimpa keturunan Adam. Tidak ada yang dikecualikan karena hal itu juga menimpa para imam. Si Corona datang dengan muka merah padam. Sudah hampir 1 tahun amarahnya belum juga padam. Siapakah yang tidak akan terdiam? Dan bertanya dalam-dalam. Bagaimanakah kalimat akhir dari gurindam?

Para nabi, imam, bahkan mereka yang dituakan tidak lagi dapat berbuat. Selama ini merekalah sebagai pemandu jalan umat. Golongan elite rohani yang digadang-gadang oleh jema’at. Bukankah jama’ah begitu merindukan mereka bernubuat? Ucapan-ucapan yang membuat pendengar menjadi semangat. Tidak ada lagi yang bisa diharap. Ayo umat! Ambil langkah walau hari masih gelap!

Mereka akan tercengang dan terpukau di hadapan-Nya, karena mereka akan melihat apa yang belum pernah diceritakan orang dan memahami apa yang belum pernah mereka dengar. (Yesaya 53:15/14, FAYH)

Ini era yang luar biasa. Semoga tidak begitu saja lewat secara percuma. Mungkin daku dan dikau tidak akan alami lagi masa-masa yang serupa. Jika saja nanti dikau melihat ke belakang. Generasi mendatang membaca sejarah apa yang terjadi sekarang. Mereka akan tercengang-cengang. Bagaimanakah bisa pengertian sedalam itu dapat dipahami oleh semua orang?

Sedangkan tokoh-tokoh agama selama ini saja tidak pernah menduga. Para ahli teologia juga salah mengira. Di ibadah setiap hari Minggu juga itu tidak pernah disinggung ibu pendeta. Kalau sudah tentang itu, majelis pun diam seribu bahasa. Jangan tanya bagaimana pendapat jema’at biasa. Sudahlah pasti umat ikut begitu saja apa yang dikatakan bapak pendeta.

Ini perkara-perkara tersembunyi sejak dahulu kala. Hal-hal yang belum pernah didengar sebelumnya. Akan tetapi siapakah dapat menduga? Karena si Corona. Akibat wabah yang ganas menggila. Jema’at menjadi begitu mudah memahami rahasia purba. Daku dan dikau mampu mencerna pengertian yang tidak biasa.

Jika saja itu dulu diungkapkan sebelum era si Corona. Ketika semuanya masih berjalan normal seperti biasa. Gedung-gedung ibadah masih berfungsi sesuai peruntukkannya. Pekerja rohani menjelang hari Sabat begitu sibuk mempersiapkan diri. Agar ibadah dapat berjalan lancar di hari yang begitu suci.

Maka itu tentu akan membuat elite rohani memaki-maki. Bak orang Farisi, mereka akan tutup telinga dan pergi. Kebenaran itu terlalu menohok ulu hati. Dikemanakan semua fasilitas bangunan mewah selama ini? Apa lagi yang tinggal sisa sebagai tugas dari mereka dari pekerja rohani. Kalau Bait Suci itu berubah ujud jadi diri sendiri? Bagaimana pula jadinya ibadah setiap hari suci? Para imam ke manakah harus pergi?

Aaahhh, terlalu banyak yang tidak pasti!

Yesus berkata kepadanya, “Serigala mempunyai lubang dan burung mempunyai sarang, tetapi Aku, Mesias, tidak mempunyai tempat tinggal ataupun tempat untuk membaringkan kepala-Ku.” (Matius 8:20, FAYH)

Gagasan Sang Cinta sebagai Tunawisma memang gila! Pengertian semacam itu sudah pasti tidak ada di materi PA (Pemahaman Alkitab). Sang Pencipta tidak punya tempat tinggal. Apakah itu masuk akal? Akan tetapi Alkitab menyatakan itu faktual.

DIA tidak ada rumah di dunia. Bahkan DIA umpamakan diri lebih rendah dari serigala. Masih lebih beruntung burung di udara. Mereka semua masih ada tempat untuk bertegor sapa dengan sanak saudara. Tidak demikian dengan Sang Raja.

Tempat meletakkan kepala pun DIA tidak ada. Apalagi rumah tempat DIA berleha-leha. Goyang-goyang kaki sambil minum kopi. Istirahat sejenak sambil ekspresikan diri sendiri. Diterima bak tinggal di rumah sendiri. Aaahhh, ternyata itu hanya mimpi. Rindu dendam-Nya sejak dini. Mimpi untuk serumah dengan kekasih hati.

Sayang di sayang. Daku tanpa sadar tempatkan DIA di kandang. Sejak itu DIA terkurung di sangkar. Juru kuncinya adalah para pakar. Kemudian mereka membatasi umat bak bertamu sesuai jadwal. Waktu-waktu ibadah pun dengan ketat dikawal.

Syukurlah! Bahkan alam semesta pun tidak cukup luas tempat DIA diam (Yesaya 66:1). DIA lebih memilih sebagai anak jalanan. Karena itu tak ada guna mencari DIA di bangunan. Temukan DIA di sepanjang jalan kehidupan. Kala dikau bertegor sapa dengan sesama insan. (nsm)

NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.


Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” dan “Divine Love Story” karya NSM

Image by Quinn Kampschroer from Pixabay

Comments

comments