Hati duka. Jiwa lara. Hati siapa yang tak luluh melihat begitu banyak yang berc ucuran air mata? ‘Malang tak dapat ditolak.’ Tapi, apakah musibah kecelakaan dengan korban seratusan orang tak dapat dihindari? Satu dua orang mungkin terluput karena nasib ‘buruk’ terjebak kemacetan lalulintas sehingga tertinggal pesawat. Mengapa hanya satu dua oarang?
Bukankah tidak terlalu sulit bagi Maha Kuasa? Maaf! Buatlah perjalanan sang pilot ke bandara terkendala. Mobil jemputan terlambat datang. Sang supir bangun kesiangan. Karena anak semata wayang sakit-sakitan! Sehingga musibah dapat dihindarkan. Ataupun mukjizat lain. Begitu banyak pilihan. Untuk menghindari kecelakaan.
Sebaliknya! Dia relakan. Ijinkan. Ratusan keluarga ditinggalkan tersayat sayat jiwa. Anak-anak kehilangan orangtua. Bapak kehilangan anak tercinta. Ibu tewas beserta bayinya. Meninggalkan duka yang mungkin tak ada obatnya. Luka yang tak akan terlupakan selamanya. Hingga generasi-generasi berikutnya. Mengapa Dia diam? Seperti membiarkan insan menari dalam duka kelam.
Hukum alam. Gaya gravitasi yang brutal. Bengis. Tak terlihat. Tak tersentuh. Diselimuti misteri. Namun, setiap benda dalam ketinggian. Tak ampun. Tak pandang bulu. Tak ada pilih kasih. Semua akan jatuh mengarah ke pusat bumi. Itu tarikan gaya gravitasi. Hancur. Berkeping-keping. Tubuh terpotong-potong. Tak berprikemanusian. Tiada belas kasihan. Dan… aaahhh! Dia diam! Sejatinya alam itu kejam. Bukankah itu yang kita rasakan?
Gempa Lombok masih di ingatan. Palu pilu. Donggala masih di pelupuk mata. Musibah datang lagi tiba-tiba. Tak ada pemberitahuan. Tanpa peringatan. Sejatinya, setiap orang. Siapa saja. Tak terkecuali. Entah hari ini. Ataupun esok lusa. Bisa saja, ditimpa bencana. Entah itu datang mendadak. Ataupun pelan-pelan tapi pasti. Hingga akhirnya sama saja. Tubuh binasa. Raga tiada. Meninggalkan dunia yang fana. Hanya jalannya yang berbeda. Menurut tarian cinta ilahi yang rahasia. Bagi setiap insan manusia.
Dan Dia diam seribu bahasa. Membisu seperti biasa. Seolah Dia enggan berbicara. Malas bersuara. Bagai Dia sibuk dengan yang lainnya. Entah Dia pergi ke mana. Tak ada waktu untuk Anda. Membiarkan dikau meraba-raba.
Dan aaahhh… Dia tidak apa-apa. Jika dikau gusar tiada tara. Cinta-Nya dipertanyakan. Diragukan. Disangsikan. Dia rela nama-Nya dihujat. Dia dipersalahkan. Anggap Dia biang segala keruwetan. Dia Diam. Bahkan bila dikaupun anggap Dia tak ada!
Sungguhkah Dia enggan menyapa? Ataukah aku? Ataupun dikau? Yang tak dapat mengikuti ritme tarian cinta ilahi. Tak mengenali suara hentakan kaki. Tak waspada dengan ayunan tangan yang gemulai. Senyum yang disertai muka menyeringai. Siapa sangka? Kemanakah goyangan berikutnya?
“Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang dari angkatan ini dan dengan apakah mereka itu sama? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis. (Lukas 7:31,32)
Angkatan ini. Zaman now. Tua muda. Sama saja. Yang awam. Kaum elite rohani. Tak beda. Dulu begitu. Kinipun berlaku. Gagal ikuti nada dan ritme tarian ilahi. Kehilangan kepekaan. Perginya pendengaran. Budeg. Congek. Lenyapnya perasaan. Tak mampu baca keadaan.
Musibah begitu saja dilewatkan. Semuanya kembali seperti sedia kala. Hingga bencana terjadi lagi. Berapa lamakah akan seperti ini? Mungkinkah aku maupun dikau tak ‘nangkap’ bunyi tiupan nada seruling? Tak nyambung tempo nada senandung duka.
Orang berhikmat senang berada di rumah duka… Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. (Pengkhotbah 7:4,2)
Tak seorangpun mengharapkan datangnya duka. Semua menjauhi bala. Apalagi bencana. Dihindari denga sekuat tenaga. Rela bayar harga. Namun. Apa mau dikata. Misteri tarian cinta ilahi nyata. Kentara. Membahana. Di tempat duka nestapa. Di mana bercucuran air mata. Astagafirullah!
Tidakkah dikau memperhatikannya?
Mungkinkah itu alasannya? Bencana akan selalu ada. Agar semua umat manusia. Tak pandang agama. Memperhatikannya. Semua akan berakhir di sana. Di rumah duka! Kalau begitu hidup untuk apa? Semuanya akan sirna. Sayang! Aku sering gagal paham. Dikau bagaimana?
Ikut empati dengan keluarga para korban. Moga itu menjadi pelajaran. Bagi kita semua yang ditinggalkan. Kiranya itu tidak begitu saja terlewatkan. (nsm)
![]() |
NSM adalah seorang awam yang bak musafir yang senantiasa merindukan Air Hidup di padang pasir nan tandus walau hanya setetes.
Telah terbit buku “Misteri Romantika Ilahi” karya NSM |




